HILANG DI DALAM RUMAH
TUHAN
RENUNGAN MALAM MINGGU:
Aku ingin berbagi makna khotbah Sabat siang ini dari Pdt. Kristiyono
Sarjono yang sangat bagus. Ayat-ayat yang dibahas adalah dari Lukas 15:11-32, tentang PERUMPAMAAN ANAK YANG
HILANG.
Saudara-saudaraku yang Kristen pasti sudah sangat hafal dan mungkin sudah
bosan dengan parabel yang terkenal ini, bagaimana seorang anak (yang bungsu)
memaksa minta hak warisnya, yang lalu dipakainya habis untuk berfoya-foya dan
akhirnya terjerumus begitu dalam hingga makan pun tidak bisa, akhirnya sadar
dan pulang ke rumah bapaknya. Tetapi kali ini, marilah kita beralih ke fokus
yang berbeda, yaitu tidak pada anak bungsu yang morsal ini melainkan
kepada KAKAKNYA, ANAK YANG SULUNG.
Anak yang sulung ini tampaknya adalah anak yang baik:
§
Dia tidak menuntut hak warisnya selama bapaknya masih hidup ~ berarti dia
mengikuti tradisi yang berlaku, tidak melanggar tradisi seperti adiknya.
§
Dia bekerja di ladang bapaknya (Luk 15:25) ~ berarti dia dianggap rajin.
§
Dia tidak pernah melanggar perintah bapaknya (Luk 15:29) ~ berarti dia
dianggap anak yang penurut, yang menghormati bapaknya.
§
Dia tidak menghamburkan harta bapaknya (Luk 15:29) ~ berarti dia dianggap
anak yang bijak.
Tetapi apakah semuanya oke dengan anak yang sulung ini? TERNYATA TIDAK!
Ternyata apa yang ada di hatinya berbeda dengan apa yang ditampilkannya di
luar.
Anak sulung ini tidak bekerja dengan gembira, dia merasa seperti budak.
Terjemahan ayat 29 dalam bahasa Indonesia memakai kata “melayani”, tetapi
tulisan aslinya adalah δουλεύω [dool-yoo'-o] From G1401;
“to be a slave” . Di Alkitab NIV ayat 29 ini
terjemahannya adalah: “But he answered his
father, ‘Look! All these years I’ve been SLAVING
for you...” yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah “selama bertahun-tahun aku sudah bekerja
seperti budak untukmu...”
Ternyata si anak sulung ini tidak ikhlas! Dia tidak merasa bahwa dia ikut
memiliki harta bapaknya, yang suatu hari bakal diwarisinya. Menurut hukum Musa,
anak sulung berhak mendapat dua bagian (dobel) dari saudara-saudaranya yang
lain (Ulangan 21:17). Berarti, dalam kasus bapak yang punya dua anak ini, 2/3
dari hartanya bakal diwarisi si anak sulung, sedangkan yang bungsu hanya
mendapat 1/3 saja. Tetapi walaupun si anak sulung ini tahu bahwa dia bakal
mewarisi 2/3 harta bapaknya, toh dia merasa dia bekerja seperti seorang budak!
Padahal di zaman itu, seorang budak tidak punya hak apa-apa, mau dibunuh oleh
tuannya pun, itu hak tuannya! Jadi tidak ada sukacita dalam hati si anak sulung
ini dalam melakukan pekerjaan bapaknya!
Jika selama ini dia merasa tidak pernah melanggar perintah bapaknya seperti
yang dikatakannya di ayat 29, ternyata itu dilakukannya bukan karena dia
menghormati bapaknya. Kita lihat ayat 30: “Tetapi
baru saja datang ANAK BAPA yang telah memboroskan harta
kekayaan bapa...” Terjemahan bahasa Indonesia
telah membuat kata-katanya terdengar lebih halus. Tetapi tulisan aslinya
adalah σοῦ [sou] Genitive case of G4771; “of thee, thy” Jadi terjemahan
bahasa Indonesia dari kata aslinya adalah “ANAKMU” bukan "anak Bapa"! Si anak sulung
ini tidak menyebut anak yang bungsu itu adiknya, tetapi dia berkata kepada
bapaknya, itu “ANAKMU”. Dengan demikian dia menunjukkan
bahwa sesungguhnya dia tidak merasa punya hubungan keluarga dengan
adiknya maupun dengan bapaknya! Jika dia tidak merasa anak bapaknya itu
saudaranya, berarti dia juga tidak merasa dia anak dari bapak itu, bukan?
Dan ini sesuai dengan kata-katanya di ayat 29, karena dia merasa dia
bekerja seperti budak untuk bapaknya! Dia merasa sebagai budak! Bukan anak yang
akan mewarisi harta bapaknya.
Anak yang sulung ini sebenarnya sudah lama merasa bahwa bapaknya tidak
menghargai pekerjaannya. Baru sekarang dia keceplosan bicara.
Ayat 29 “... kepadaku belum
pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita
dengan sahabat-sahabatku.” Jadi sebetulnya dia ingin juga makan-makan
dengan sahabat-sahabatnya, tak beda banyak dari adiknya! Tetapi hasratnya ini
dipendam saja, tidak pernah diungkapkan kepada bapaknya. Jadi selama ini, dia
pura-pura tidak punya keinginan itu, dan dia merendahkan adiknya yang suka
berfoya-foya. Namun sebetulnya di dalam hatinya, dia ingin juga bisa mengundang
makan teman-temannya.Ternyata si anak sulung ini adalah orang yang munafik. Dan
pada waktu dia marah inilah, kedoknya terbuka.
Si anak sulung ini marah kepada bapaknya karena adiknya yang sudah
nyata-nyata berdosa itu masih diterima kembali, dan dipulihkan statusnya
menjadi anak bapaknya lagi. Dia tidak perduli bahwa adiknya sudah bertobat dan
meminta ampun kepada bapaknya.
Si anak sulung merasa rugi. Mengapa dia merasa
rugi? Karena sebetulnya tersembunyi di dalam hatinya, dia juga ingin bisa
seperti adiknya. Seandainya dia tahu bahwa bapaknya akan menerima adiknya lagi
dan memulihkan statusnya sebagai anak, mungkin dia pun akan berbuat seperti
adiknya! Waduh, kan enak, sudah pernah hidup bebas merdeka, berfoya-foya,
menghabiskan semua hartanya, pulang-pulang, eeehh, bukannya diusir tapi justru
malah diterima dan dipulihkan statusnya sebagai anak! Kan dobel-dobel enaknya.
Sudah pernah hidup bergelimang dosa, ujung-ujungnya masih diterima kembali!
Berarti bagi si anak sulung ini, hidup bergelimang dosa itu mestinya enak,
karena dia merasa rugi dia tidak pernah melakukannya! Sebetulnya dia juga
ingin!
Jika selama ini si anak sulung ini “setia” bekerja di ladang bapaknya, itu
bukan karena dia gemar bekerja di sana, bukan karena dia senang berada di dekat
bapaknya, bukan karena dia sadar ladang itu bakal diwarisinya, tetapi
karena dia TAKUT
KEHILANGAN STATUSNYA SEBAGAI ANAK!
Ternyata adiknya tidak kehilangan status sebagai anak! Maka ini membuat
anak sulung itu merasa sangat marah karena dirugikan!
Seandainya si anak sulung ini memang senang berada di dekat bapaknya, dia
tidak akan iri hati pada adiknya. Dia justru akan merasa kasihan pada adiknya,
yang pernah kehilangan waktu yang sangat berharga selama dia jauh dari
bapaknya. Seandainya si anak sulung ini menganggap setiap hari dia hidup
bersama bapaknya itu suatu berkat, suatu kenikmatan, maka dia akan merasa
sangat beruntung karena dia tidak pernah kehilangan satu detik pun jauh dari
bapaknya seperti adiknya. Seandainya!
Ini merupakan suatu “wake up call” suatu “tempelak” yang sangat bagus bagi
kita, orang-orang Kristen yang “setia” berada di dekat Tuhan. Kita semua perlu
berintrospeksi, apakah kita memilih berada dekat dengan Tuhan itu karena kita
mengasihi Tuhan, karena kita merasa sukacita, aman, damai, berada di dekatNya? Apakah
kita tidak melanggar hukum-hukum Tuhan itu karena kita ingin menyenangkan hati
Tuhan atau karena kita takut dihukum Tuhan, takut kehilangan status kita
sebagai anak Tuhan? Seandainya kita tidak akan kehilangan status
kita sebagai anak Tuhan, apakah kita akan mencoba juga hidup melanggar hukum
Tuhan? Apakah kita melayani Tuhan karena kita sadar kita adalah waris
kerajaan Allah, atau kita melakukannya karena terpaksa seperti anak sulung itu
yang merasa membudak kepada bapaknya?
Si anak yang bungsu memang hilang dalam kesesatan dunia, tetapi si anak
sulung malah hilang di dalam rumah bapaknya. Dan ini susah disadari, bahkan
oleh ybs sendiri! Ini adalah tipe "hilang" yang lebih berbahaya
karena orang yang hilang tidak merasa hilang! Dosa yang dilakukannya
hanya ada di dalam hati, tidak ada orang lain yang tahu, sehingga tidak ada
orang lain yang akan mengingatkannya!
Kita mungkin tidak hilang dalam kesesatan dunia, tetapi apakah kita yakin
kita tidak hilang di dalam pelayanan Tuhan? Apakah kita tidak hilang dalam
“kesetiaan” kita? Kita perlu introspeksi untuk menjawab pertanyaan ini dengan
jujur kepada diri kita sendiri.
Tuhan memberkati.
2013-09-07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar