160. MENGAPA TUHAN MEMILIH
ABRAHAM
______________________________________________________________
Nama Abraham
sudah tidak asing lagi bagi kita. Di Alkitab sepertinya hanya ada satu tokoh
yang bernama Abraham, sehingga tidak ada salah paham. Selama dua Sabat
berturut-turut khotbah di gereja adalah tentang Abraham, maka rasanya menarik
sekali bila kita bisa menarik pelajaran dari pribadi yang olehnya seluruh
bangsa di muka bumi mendapatkan berkat.
SIAPAKAH ABRAHAM
INI?
MENGAPA DARI SEMUA
ORANG DI DUNIA TUHAN MEMILIH ABRAHAM UNTUK MENJADI BERKAT BAGI SELURUH UMAT DI
BUMI?
Aslinya Abraham adalah orang Babilon. Ingat Babilon? Pemujaan berhala sedemikian lekatnya dengan Babilon hingga
nama inilah yang dipilih Tuhan untuk melukiskan gereja yang murtad yang melawan
dan memusuhi Tuhan di dalam kitab Wahyu.
Nah, aslinya
Abraham adalah orang Babilon.
Namanya yang
asli adalah Abram sebelum diganti Tuhan menjadi Abraham.
Ayahnya bernama Terah dan
mereka hidup di Ur Kasdim.
Kemudian suatu hari Terah mau pindah. Alkitab tidak mengatakan mengapa.
Mungkin hati Terah tidak cocok dengan pola kehidupan yang ada di Ur Kasdim yang
penuh pemujaan berhala. Mungkin dia ingin hidup di tempat lain di mana tidak
ada kehidupan paganistik yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Itu salah satu
kemungkinan mengapa tiba-tiba pada usia yang sudah tidak muda lagi, Terah
memutuskann untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah. Dan yang luar
biasa, rencananya mau ke Kanaan, apakah ini suatu
kebetulan, atau sesungguhnya Allah yang menggerakkan hati Terah untuk ingin
pindah ke Kanaan? Kanaan terletak di luar wilayah Babilon.
Maka
berangkatlah Terah, bersama sebagian keluarganya, tetapi akhirnya mereka tidak sampai
di Kanaan, mereka hanya sampai di Haran dan mereka berhenti. Alkitab juga tidak menjelaskan mengapa akhirnya Terah dan keluarganya
berhenti di Haran dan tidak melanjutkan ke Kanaan. Mungkin Terah
sudah terlalu tua sehingga merasa tidak sanggup melanjutkan perjalanan lagi,
kita tidak tahu. Zaman dulu orang harus berjalan kaki atau hanya bisa naik
hewan ke mana-mana, pasti sangat melelahkan. Haran masih terletak di wilayah
Babilon. Mungkin Setan membisiki Terah untuk tidak melanjutkan perjalanan dan
meninggalkan wilayah Babilon. Tidak ada keterangan yang pasti dari Alkitab. Dan
Terah tinggal di Haran sampai dia mati.
Kemudian Tuhan
memanggil Abraham untuk meninggalkan Haran ke suatu tempat yang belum
diberitahukan Tuhan kepadanya. Padahal akhirnya yang dimaksud Tuhan ya tanah
Kanaan, tempat yang tadinya dituju Terah, bapaknya.
Mengapa dari
sekian banyaknya manusia di bumi, Tuhan memilih memanggil Abraham, orang
Babilon untuk menjadi nenek moyang Yesus Kristus? Mengapa kok bukan orang lain?
Inilah mengapa:
1.
ABRAHAM ADALAH ORANG YANG (1) MENGASIHI, (2) PENURUT DAN (3) BERBAKTI
Abraham adalah
anak Terah yang paling mengasihi ayahnya.
Di Kejadian 11:26 tertulis
Dan Terah hidup tujuh puluh tahun, dan
memperanakkan Abram, Nahor dan Haran.
Nama Abram yang
disebut pertama, maka asumsinya adalah Abram ini anak sulung Terah.
Tetapi jika kita
baca Kejadian 11:27-32, kita mendapat tahu bahwa Haran mati muda, namun pada saat dia mati, dia sudah memiliki
anak yang bernama Lot. Sedangkan
Abram dan Nahor baru mengambil istri kemudian. Maka logisnya Haran ini lebih
tua daripada Abram karena di zaman dulu selalu anak yang lebih tua yang menikah
dahulu, baru adiknya boleh menyusul. Tetapi mungkin karena pada waktu kisah ini
dimulai Haran sudah mati, maka namanya sebagai anak Terah disebutkan terakhir.
Nah, Alkitab
tidak menceritakan mengapa Terah memutuskan untuk meninggalkan Ur Kasdim,
tetapi itu yang dilakukannya. Dan ketika Terah meninggalkan Ur Kasdim, hanya satu anaknya,
yaitu Abram yang ikut, sedangkan anaknya yang satu lagi yang bernama
Nahor, tidak ikut. Mengapa?
Alkitab tidak
menjelaskan secara spesifik, tetapi tentunya kita bisa mengambil kesimpulan
sendiri. Terah bermaksud meninggalkan Ur Kasdim untuk selama-lamanya. Ketika
dia berangkat dari Ur Kasdim dia sama sekali tidak punya niatan untuk kembali
lagi ke sana. Mestinya sebagai
seorang ayah, dia rindu seluruh keluarganya ikut bersamanya.
Sebagai seorang ayah tentunya dia berharap anak-anaknya semua ada di dekatnya
pada hari tuanya dan kelak dia boleh tutup mata ditunggui mereka, apalagi anak
laki-lakinya sisa cuma dua: Abraham dan Nahor. Tetapi Nahor dan keluarganya tidak ikut pergi bersama
Terah.
Pastilah di
zaman itu pindah bukanlah hal yang nyaman. Tidak ada kereta api atau pesawat
terbang atau bahkan bus dan kapal. Tidak ada perusahaan packing yang membantu
kemas-kemas dan mengangkatkan barang-barang. Yang ada hanyalah hewan pengangkut
dan perjalanan yang panjang dan melelahkan berhari-hari, berminggu-minggu di
bawah sengatan terik matahari (karena ini Timur Tengah, bukan Eropa yang
beriklim dingin). Tidak heran Nahor dan keluarganya tidak mau ikut. Untuk apa?
Di Ur Kasdim tentunya Terah dan keluarganya sudah punya rumah yang permanen,
punya tempat tinggal yang nyaman. Mengapa harus meninggalkan semua itu untuk
pergi ke tempat yang asing dan memulai lagi semuanya dari awal?
Tetapi Abram membawa istrinya Sarai
ikut ayahnya pindah.
Hal ini
mengatakan apa kepada kita?
Abram mengasihi ayahnya. Dia juga
seorang yang patuh kepada ayahnya. Dan dia juga merasa punya tanggung jawab
untuk menjaga keselamatan ayahnya yang sudah tua
selama
menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dari Ur ke Kanaan (sewaktu mereka
berangkat tujuannya kan Kanaan, tidak ada niatan hanya sampai Haran). Dia juga mau memastikan bahwa pada saat
ayahnya menutup mata nanti, dia ada di sana mendampingi ayahnya, dan dia yang
akan menguburkan ayahnya. Abram mengesampingkan
kepentingannya dan kenyamanannya sendiri, dan lebih mendahulukan kepentingan
ayahnya. Abraham secara naluri mematuhi perintah Allah yang kelima: Hormatilah
bapakmu dan ibumu. Abram mengasihi ayahnya bukan hanya dengan mulut, melainkan
dengan perbuatan. Ayahnya mau pindah, Abram menurut. Abram tidak
membantah ayahnya, tidak berkata, “Pindahlah sendiri, aku tetap di Ur saja”, tetapi
sebagai anak yang berbakti, dia menggantikan kedudukan anak sulung yang sudah
meninggal, dan dia memikul tanggung jawab mengamankan perjalanan ayahnya. Dengan
kata lain, ABRAM INI BUKANLAH ORANG YANG EGOIS.
Bagaimana dengan
kita? Jika orangtua kita sudah tua dan sakit, apakah kita mau mengorbankan
kepentingan kita untuk mendahulukan kepentingan mereka? Apakah kita akan
mengantarkan mereka berobat dan mendampingi mereka di saat-saat mereka
membutuhkan dukungan moral? Atau kita
hanya menyerahkan urusannya kepada suster atau sopir, atau bahkan sama sekali
tidak mau tahu? Itu orangtua kita, bukan orangtua suster atau sopir, tentunya
mereka akan merasa lebih nyaman bila anak yang mereka sayangi, darah dagingnya
sendiri, yang menyandang nama mereka, yang mendampingi mereka.
Terah beruntung
punya anak seperti Abram.
2.
ABRAM TIDAK PAMRIH
Setelah Terah
mati, Tuhan memanggil Abram untuk meninggalkan Haran dan pergi ke tempat yang
tidak diberitahukanNya. Tuhan hanya berkata, “Berangkat saja, nanti akan
Kutunjukkan ke mana kamu harus pergi.” Tuhan tidak berkata, “Aku mau kamu ke
Kanaan, tempat yang awalnya dituju oleh Terah ayahmu.”
Alkitab tidak
pernah menjelaskan apakah sebelumnya Tuhan pernah bercakap-cakap dengan Abram.
Sekarang tiba-tiba ada perintah dari Tuhan yang menyuruh Abram meninggalkan
tempat tinggalnya. Pergi ke mana tidak tahu. Siapa ini yang menyuruhnya pergi
juga tidak jelas bagi Abram, tapi dia menurut (karena Abram adalah orang yang
penurut). Pada usia yang untuk ukuran masa itu pun tidak bisa digolongkan muda
~ Abram berusia 75 ketika Tuhan menyuruhnya pergi ~ dia mengemasi miliknya,
membongkar tendanya, membawa istrinya dan kemenakannya Lot, dan dia pergi
meninggalkan Haran.
Hanya karena
apa? Hanya karena dia percaya bahwa Yang menyuruhnya pergi itu
besar kuasaNya dan baik maksudNya.
Kita mungkin
berkata, “Lha iya, kan Tuhan berjanji akan menjadikan Abram bangsa yang besar,
yang namanya mashur, yang menjadi berkat bagi orang lain, dan semua orang di
bumi akan diberkati karena Abram. Makanya Abram menurut disuruh pergi.”
Jangan lupa,
Abram pada waktu itu sudah berusia 75 tahun, istrinya yang lebih muda 10 tahun juga
sudah lewat waktu beranak, pada waktu itu mereka tidak punya anak, jadi
bagaimana dia bisa menjadi bangsa yang besar? Lha wong anak satu saja tidak
punya, mana mungkin menjadi bangsa yang besar? Tapi Abram tidak menjawab, “Ah
nggedabrus! Omong kosong. Emang aku tolol?” Abram disuruh meninggalkan Haran,
Abram menurut, tanpa pamrih.
Ini memberitahu
apa kepada kita?
ABRAM BUKAN ORANG YANG PAMRIH! Abram
tidak berpikir apa betul nanti dia akan menjadi bangsa yang besar atau tidak
(karena menurut logika itu tidak mungkin), Abram menurut saja disuruh
berangkat. Jadi
kepatuhan Abram kepada Tuhan bukan karena berkat-berkat yang Tuhan janjikan.
Abram mengimani saja bahwa Yang menyuruhnya pergi itu Sosok yang baik. Dengan
kata lain Abram punya iman.
Apa itu
iman? Kata Paulus,
Ibrani 11:1
Nah, iman adalah substansi (wujud)
dari hal-hal yang diharapkan, alasan untuk mempercayai
hal-hal yang tidak dilihat.
Jadi dengan kata lain, iman itu percaya kepada apa yang belum
pernah kita lihat, yang belum terbukti ada, dan substansi dari apa yang kita
harapkan.
Bagaimana dengan
kita? Apakah kita memiliki iman seperti iman Abram? Iman Abram itu “percaya
buta” namanya. Tanpa dipikir, tanpa mempertimbangkan untung-ruginya, tapi
semata-mata “percaya buta” kepada Tuhan, dan dia lakukan apa yang disuruh
Tuhan.
Perhatikan di
sini, apa buktinya Abram beriman kepada Tuhan?
Ibrani 11:8
Karena iman, Abraham
ketika ia dipanggil untuk berangkat ke tempat
yang kemudian akan diterimanya sebagai milik pusakanya, (1) patuh; dan ia (2) berangkat tanpa mengetahui ke mana ia pergi.
Perhatikan kalimat pertama, “Karena iman, Abraham…(1) patuh; dan ia (2) berangkat…” jadi Abram membuktikan bahwa
dia punya iman dengan apa?
a.
dengan
patuh – ini berdasarkan iman,
b.
lalu
ia berangkat – ini perbuatan yang membuktikan imannya.
Jadi IMAN
ITU HARUS DISERTAI apa? HARUS
DISERTAI KETAATAN DAN PERBUATAN.
Maka, Abram membuktikan imannya dengan:
(1) patuh = artinya menurut, taat, tidak
membantah, tidak mendebat, tidak melawan.
(2) berangkat = mewujudkan kepatuhannya,
dia membuktikan bahwa dia sungguh-sungguh melakukan apa yang disuruh. Bukan
cuma “omdo” kata orang sekarang, “omong doang” tapi tidak berbuat apa-apa.
Jadi bagaimana seharusnya kita membuktikan
bahwa kita punya iman pada Tuhan?
ü Dengan patuh kepada perintahNya,
tidak pakai
membantah, tidak pakai menawar, tidak pakai mengeluh, tidak pakai mengajukan
segala macam keberatan, tidak pakai menggantinya sedikit-sedikit, tidak pakai
bersungut-sungut.
ü Lalu, kita lakukan,
kita laksanakan apa yang Tuhan suruh kita laksanakan, atau dengan menghindari apa yang dilarang Tuhan
supaya tidak kita lakukan.
Banyak orang Kristen mengatakan bahwa mulai zaman Perjanjian
Baru umat Tuhan sudah tidak usah mematuhi Hukum Tuhan lagi, cukup hanya punya
iman sudah selamat. Beda dengan zaman Perjanjian Lama di mana orang harus patuh
kepada Hukum baru selamat.
Salah!
Dari awal, sejak Adam berdosa, tidak ada manusia yang selamat karena mematuhi Hukum.
Semua manusia itu selamat karena beriman bahwa kasih karunia Tuhan lah yang
menyelamatkan mereka.
Lalu mengapa mereka patuh kepada Hukum?
Patuh pada Hukum adalah bukti bahwa
mereka memiliki iman tersebut.
Dan konsep ini tidak berubah sampai sekarang, sampai nanti
akhir zaman.
Semua manusia hanya bisa
selamat karena beriman dalam kasih karunia Tuhan yang menyelamatkan mereka. Dan
untuk membuktikan bahwa mereka memang memiliki iman itu, mereka patuh kepada
Hukum Tuhan.
Tidak ada yang berubah.
Lihat saja apa kata Alkitab tentang kisah Abram ini.
Mana yang terjadi lebih dahulu? Iman atau kepatuhannya?
Iman.
Abram beriman kepada Yang menyuruhnya meninggalkan tempat
tinggalnya.
Karena dia beriman kepada Yang menyuruhnya, dia memutuskan
untuk patuh, dan dia mewujudkan kepatuhannya dengan meninggalkan tempat
tinggalnya itu.
Jadi SEBELUM ADA KEPATUHAN, LEBIH
DAHULU HARUS ADA IMAN, maka dikatakan
“Karena iman, Abraham…(1) patuh; dan ia (2) berangkat…” (Ibr. 11:8).
Berarti,
KEPATUHAN ADALAH BUKTI IMAN,
DAN PERBUATAN ADALAH BUAH IMAN.
Ini konsep yang universal, yang setiap hari kita jumpai
dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh: Seorang ibu rumah tangga mendapat resep kue. Dia
membaca resep itu, dan dia percaya bahwa resep itu bagus, (ini iman). Karena dia percaya, maka dia mematuhi resep
itu 100%, dan mengikuti resep itu 100%, membuat kuenya. Jika dia tidak percaya
pada resep itu atau pada orang yang memberinya resep itu, dia tidak akan
membuat kue mengikuti resep tersebut 100%, dia akan memodifikasi resep itu
sesuai pikirannya sendiri, atau dia tidak akan memakai resep itu sama sekali.
Jadi penyebab si ibu mau membuat kue 100% berdasarkan resep itu ialah karena
dia percaya pada resep itu. Maka kepatuhan ibu ini kepada resep itu adalah
karena dia percaya resep itu bagus, dan kemudian dia mewujudkannya dengan
membuat kuenya mengikuti resep itu.
Semuanya begitu. Kita menuruti sesuatu karena kita sudah percaya
dulu bahwa itu baik.
Maka Abram percaya atau beriman kepada Yang memberinya
perintah, dan sebagai bukti imannya, dia melakukan apa yang disuruh.
Bagaimana dengan kita?
Kita berkata kita
beriman, tapi kita mencari segala alasan untuk melepaskan diri dari kepatuhan kepada
Tuhan. Tragis.
Kita lupa,
JIKA KITA TIDAK PATUH,
ITU BUKTINYA KITA TIDAK PUNYA IMAN
Dan JIKA KITA TIDAK PUNYA IMAN,
KITA TIDAK BISA SELAMAT
karena Alkitab berkata, “Karena oleh kasih karunia kamu diselamatkan melalui iman, dan itu
bukan karena kamu, itu adalah pemberian Allah.” [Efesus 2:8]
Jadi renungkan dalam-dalam kenyataan ini.
Bagaimana Abram yang kemudian namanya diganti Tuhan menjadi
Abraham membuktikan lagi bahwa dia punya iman dengan mematuhi dan melakukan perintah
Tuhan?
Kita semuanya
tentu ingat kisah penyembelihan nyaris atas Ishak, anak perjanjian yang
diperoleh Abraham ketika dia berusia 100 tahun? Jika lupa silakan membaca
Kejadian pasal 21 dan 22. Singkat cerita, walaupun Ishak itu anak perjanjian,
walaupun Ishak itu sangat dia kasihi karena dia mendapatkannya setelah berusia
100 tahun, tetapi ketika Tuhan berkata,
Kejadian
22:2
Ambillah anakmu yang tidak ada
duanya [unik] itu yang engkau kasihi, pergilah ke tanah Moria dan
persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan
kepadamu.”
Abraham tidak
marah-marah kepada Tuhan, Abraham tidak menggugat janji Tuhan akan menjadikan
dia bangsa yang besar, Abraham tidak minta penjelasan Tuhan, Abraham tidak
melawan Tuhan, Abraham tidak mencoba benegosiasi dengan Tuhan, tetapi dengan
hati yang patuh dia tetap menundukkan kepalanya, taat kepada perintah Tuhan, walaupun
dia tidak mengerti mengapa Tuhan meminta anaknya, dan dia mewujudkan
kepatuhannya itu dengan benar-benar membawa Ishak ke bukit Moria untuk
mempersembahkan dia sebagai korban bakaran. Dan Abraham tidak setengah hati
melakukan perintah Tuhan. Abraham betul-betul berniat melakukan apa yang
diperintahkan Tuhan. Abraham tidak pura-pura lupa membawa pisaunya, atau lupa
membawa kayunya, atau lupa membawa talinya. Ketika tiba di bukit Moria, Abraham
tidak berteriak kepada Tuhan, tidak protes, tidak memohon Tuhan untuk membatalkan
perintah itu, tetapi kata Alkitab, dengan setia, dia “…mengulurkan tangannya, lalu mengambil
pisau untuk menyembelih anaknya.” [Kejadian
22:10]. Tuhan
memperoleh bukti bagaimana iman Abraham ketika Abraham benar-benar sudah
memegang pisau dan benar-benar akan menyembelih anaknya.
Bagaimana
dengan kita? Tuhan belum pernah minta kita menyembelih salah satu dari
anak-anak kita. Tuhan baru minta kita mematuhi segala PerintahNya saja ~ yang
semuanya adalah demi kebaikan kita ~ supaya kita aman, supaya kita sehat,
supaya kita tidak tersesat ~ kita sudah
memberontak dan mencari segala alasan untuk meloloskan diri.
3.ABRAM MEMILIKI SIFAT SEPERTI KRISTUS
Tuhan tidak salah pilih.
Abraham memang manusia, dan manusia punya kelemahan dan
kebanyakan kelemahan Abraham berkaitan dengan perempuan. Sebagaimana Adam yang
memilih lebih mendengarkan kata-kata istrinya ketimbang mematuhi perintah
Tuhan, demikian juga Abraham, yang terkadang lebih mendengar kata-kata istrinya
ketimbang kata-kata Tuhan. Banyak tokoh terkenal yang jatuh karena perempuan
yang berpengaruh dalam hidup mereka, karena mereka sering menempatkan perempuan-perempuan
ini lebih tinggi daripada Tuhan. Maka biarlah kelemahan Adam dan Abraham itu menjadi
peringatan bagi kita, supaya jangan kita tiru, jangan kita membiarkan
pasangan hidup kita justru membuat kita berbuat dosa, seberapa pun kita
mencintainya.
Tetapi, marilah kita lihat seberapa dekat sifat-sifat
Abraham kepada sifat-sifat Kristus.
APA SIFAT KRISTUS?
1.
Mematuhi
perintah Tuhan.
Yohanes
4:34
Kata Yesus kepada mereka: ‘Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya.’
2.
Beribadah
kepada Tuhan.
Markus dan
Lukas mencatat bahwa setiap Sabat Yesus pergi ke rumah ibadat. (Markus 1:21, 6:1-2; Lukas 6:6, 4:16, 4:31, 13:10)
3. Rendah hati.
Filipi 2:5-8
Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraanNya dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
4.
Memohon
rahmat Tuhan bagi orang lain
Tak terhitung
seringnya selama pelayanannya yang 3.5 tahun itu Yesus memohonkan rahmat Tuhan
bagi orang lain, dengan memberikan kesembuhan, dengan membangkitkan orang mati,
dengan memberi makan ribuan orang.
5.
Berkorban
untuk orang lain
Dari lahirnya
ke dunia ini Yesus sudah berkorban. Dia yang Allah di Surga mau turun ke dunia,
lahir sebagai manusia yang melarat, untuk mengajarkan kebenaran kepada manusia,
dan untuk menyelamatkan manusia dengan kematiannya di atas salib. Lihat Filipi 2:5-8 di atas.
6. Tidak mata duitan
Matius 8:20
Yesus berkata kepadanya, ‘Rubah
punya liang dan burung yang terbang punya
sarang, tetapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk membaringkan kepala-Nya.’
Allah yang kaya raya, yang memiliki
seluruh alam semesta, tapi ketika Dia hidup sebagai manusia, bahkan bantal pun
Dia tidak punya.
BAGAIMANA DENGAN ABRAHAM?
1.
Apakah
Abraham mematuhi perintah Tuhan?
Kita sudah
melihat di atas bagaimana Abraham mematuhi perintah Tuhan sebagai bukti
imannya. Disuruh Tuhan berangkat, dia berangkat. Disuruh Tuhan mengurbankan
Ishak anaknya, dia lakukan.
Kita lihat
juga bagaimana Abraham melakukan ketentuan Tuhan untuk mengembalikan
persepuluhan kepada Tuhan, melalui imamNya Melkisedek, raja Salem (Kejadian 14:18-20). Kepatuhannya kepada Tuhan adalah bukti dari
imannya.
2.
Apakah
Abraham beribadah kepada Tuhan?
Ya. Kalau
kita baca kisah Abraham, ke mana pun Abraham pergi, di sana dia mendirikan mezbah. Di zaman Abraham tidak ada Kaabah, tidak ada
Bait Suci, maka Abraham mendirikan mezbah untuk beribadah kepada Tuhan. (Kejadian 12:7, 13:18, 22:9).
3.
Apakah
Abraham rendah hati?
Silakan baca
kisahnya di Kejadian pasal 13, bagaimana Abraham yang adalah paman Lot, justru memberikan Lot
kesempatan untuk menentukan pilihannya dulu. Kalau menurut tradisi
dunia, pastilah seorang paman akan merasa lebih berhak memilih lebih dulu.
Apalagi Lot menjadi kaya itu karena dia ikut Abraham, karena Lot ayahnya sudah
lebih dulu mati, jadi harta Lot sebenarnya berasal dari Abraham, tapi justru
Abraham yang menghormati Lot.
4.
Apakah
Abraham memohonkan rahmat bagi orang lain?
Abraham bukan
hanya memohonkan rahmat saja untuk orang lain, tetapi turun tangan mengerahkan
anak buahnya sendiri untuk menyelamatkan Lot ketika
Lot ditawan raja Kedorlaomer dkk. Bukan saja Lot yang diselamatkan, tetapi juga
raja Sodom dan semua yang dirampas Kedorlaomer dari mereka (Kejadian 14:1-17). Abraham ringan tangan menolong
orang lain.
Ingat
bagaimana Abraham
memberanikan dirinya tawar-menawar dengan Tuhan demi kepentingan warga Sodom
dan Gomora yang akan dihancurkan Tuhan? Kalau lupa, silakan
membacanya di Kejadian 18:16-33.
5.
Apakah
Abraham berkorban untuk orang lain?
Di awal-awal tadi kita sudah melihat
bagaimana dia berkorban
untuk ayahnya, meninggalkan
kenikmatan rumahnya yang permanen di Ur Kasdim untuk menemani ayahnya berangkat
menuju ke Kanaan, tetapi akhirnya mereka hanya sampai di Haran.
Dia juga berkorban perasaan ketika
istrinya Sara menyuruh dia mengusir Hagar dan anaknya Ismael. Alkitab bahasa
Indonesia menerjemahkan perasaan Abraham dengan kata “menyebalkan” tetapi kata
Ibraninya adalah רעע [râ‛a‛] yang lebih
tepat diterjemahkan “menyedihkan” atau “berat hati”. Ayah mana yang
tidak merasa sedih harus mengusir anak kandungnya bersama ibunya. Tetapi Tuhan
membenarkan permintaan Sara, dan Abraham seperti biasanya, dia selalu tunduk
kepada kehendak Tuhan, rela melepas Ismael dan Hagar walaupun dengan berat
hati. Dia tahu, itu perpisahan untuk selama-lamanya, selama hidupnya dia tidak akan
bertemu lagi dengan mereka. Pengorbanan seorang ayah yang sangat berat. Baca Kejadian 21:9-14.
6. Abraham juga tidak mata duitan, tidak
serakah.
Ketika dia berhasil membebaskan raja
Sodom dari raja Kedorlaomer, maka seperti biasanya pemenang perang berhak atas
pampasannya, tetapi Abraham menolak pemberian raja Sodom. Abraham
tidak serakah. Memang betul dia kaya, tapi tidak kurang orang kaya juga tetap
mau menerima pemberian, apalagi menurut peraturan waktu itu, pampasan perang
memang hak pihak yang menang. Tetapi Abraham tidak serakah, tidak mata duitan. Abraham
tidak mau nanti ada yang bilang dia kaya karena menerima pemberian raja Sodom.
Abraham mau orang tahu bahwa kekayaannya semua berasal dari Tuhan. (Kejadian 14:22-23)
Maka Tuhan telah memilih orang yang tepat untuk menjadi
cikal-bakal nenek moyang yang akan menurunkan seorang Juruselamat bagi seluruh
dunia. Tuhan berkata,
Kejadian:
12:2 Dan Aku
akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan Aku akan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.
12:3 Dan Aku
akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang
yang mengutuk engkau; dan dalammu semua kaum di muka bumi akan diberkati.’
Abraham adalah orang Babilon, tempat pusat penyembahan
berhala. Tetapi Tuhan memanggilnya keluar dari Babilon, untuk:
dijadikan bangsa yang besar
ü diberkati
ü dibuat masyhur namanya
ü dijadikan berkat
ü dan melalui Abraham semua orang di muka
bumi akan mendapat berkat.
Abraham
pada dasarnya memiliki sifat-sifat yang baik, budi yang luhur, dan setelah dia beriman
kepada Tuhan, dia menjadi semakin baik, semakin luhur, semakin sempurna.
Jika kita membayangkan Abraham, kita membayangkannya sudah
tua, berjanggut putih, berusia di atas 80 tahun. Jadi kita beranggapan ya
pantaslah dia seorang “patriakat” seorang bapak bangsa.
Tapi Abraham tidak selamanya seorang kakek-kakek, Abraham
pernah muda. Abraham pernah remaja. Abraham pernah berusia 15 tahun, 20 tahun,
30 tahun, 40 tahun. Dia pernah mengalami emosi dan godaan usia remaja, usia
dewasa, bahkan usia puber kedua. Ketika dia mengikuti ayahnya Terah
meninggalkan Ur Kasdim, Abraham saat itu justru sedang gagah-gagahnya lelaki.
Tetapi Abraham tetap tunduk dan berbakti kepada ayahnya. Ketika ayahnya
memutuskan pindah, Abraham tidak berkata, “Wah, Papa sudah ketinggalan zaman,
Papa ngerti apa, sudah tidak usah macam-macam, baik-baik saja tinggal di rumah
dan biar kami yang muda-muda yang menangani segala urusan.” Tidak. Abraham
menghormati orangtuanya.
Jadi, dari melihat kehidupan Abraham ini, kita harus semakin
mengerti:
IMAN DAN KETAATAN DAN PERBUATAN
ITU BERKAITAN SATU SAMA LAIN.
Yakobus
berkata,
2:17 Demikian juga halnya iman sendirian, jika iman itu tidak disertai
perbuatan, maka iman itu mati.
2:20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau tahu sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan itu mati?
2:21 Bukankah Abraham, bapak kita, dibenarkan karena
perbuatan-perbuatannya ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di
atas mezbah?
2:22 Apakah kamu
lihat, bahwa imannya bekerjasama dengan perbuatan-perbuatannya? dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.
2:23 Dengan jalan demikian genaplah nas yang
mengatakan: ‘Lalu percayalah Abraham kepada
Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran’ dan Abraham disebut ‘teman Allah.’
Bukti bahwa kita memiliki iman yang hidup adalah bila kita
taat kepada segala perintah dan kehendak Tuhan. Dan bukti bahwa kita taat
adalah bila kita melakukan segala perintah dan kehendak Tuhan.
Jadi jangan dikecoh oleh tipu daya Setan yang mengatakan
asal ada iman sudah cukup. Iman itu membuat kita bisa
menerima kasih karunia Tuhan.
Tapi iman yang bagaimana yang bisa menerima kasih karunia
Tuhan?
Iman yang hidup.
Iman
yang hidup itu bagaimana?
Iman yang dibuktikan dengan kepatuhan atau
ketaatan kepada semua perintah dan kehendak Tuhan.
Dan kepatuhan atau ketaatan itu harus ada wujudnya, bukan
cuma kata-kata kosong. Wujudnya adalah perbuatan kita.
Ibrani
13:20 Maka Allah damai sejahtera, telah membawa
kembali dari antara orang mati, Tuhan Yesus, Gembala domba yang Agung, melalui darah Perjanjian yang kekal
13:21 menjadikan kamu sempurna dalam setiap perbuatan baik untuk melakukan kehendak-Nya, mengerjakan di dalam kamu apa yang berkenan di pemandanganNya, melalui Yesus Kristus; bagi Dialah kemuliaan untuk selama-lamanya! Amin.
27 03 16
Trimakasih tuk penjelasannya, Tuhan Yesus memberkati...
BalasHapus