121. MENGASIHI ALLAH, MENGASIHI MANUSIA
MANA LEBIH DULU?
____________________________________________
Marilah kita lihat di Matius
25:41 Lalu Ia
akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah tangan
kiri-Nya, ‘Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu yang terkutuk, ke dalam api yang kekal yang telah disediakan untuk Iblis dan
malaikat-malaikatnya.
25:42 Sebab ketika Aku lapar, dan kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku
haus, dan kamu tidak memberi Aku minum;
25:43 ketika Aku seorang asing, dan kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika
Aku telanjang, dan kamu tidak memberi Aku
pakaian; ketika Aku sakit atau dalam
penjara, dan kamu tidak melawat Aku.’
25:44 Lalu mereka pun akan menjawab Dia, mengatakan, ‘Tuhan, bilamanakah kami melihat
Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit,
atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?
22:45 Lalu Ia
akan menjawab mereka, berkata, ‘Sesungguhnya
Aku berkata kepadamu, seberapa banyak yang
tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak
melakukannya untuk Aku.’
Jika
kita telah melakukan semua yang disebutkan ayat-ayat di atas, tentu saja itu bagus sekali, JIKA
MOTIVASINYA BENAR.
Apakah
motivasi yang benar?
TANPA PAMRIH!
Yang namanya pamrih itu apa?
MENGHARAPKAN BALASAN. BALASAN ITU BISA DATANG DARI
MANA PUN, DAN BISA BERBENTUK APA PUN.
Maksudnya?
a.
Mungkin
kita mengharapkan balasan dari orang yang kita
tolong tersebut.
b. Kita juga bisa
mengharapkan balasan dari keluarga orang yang
kita tolong tersebut.
c. Kita juga bisa
mengharapkan balasan dari
Tuhan!
Dan ini adalah motivasi pamrih
yang paling terselubung! Kita bisa
mengharapkan agar lain kali jika kita butuh, maka Tuhan akan mengingat
perbuatan baik kita ini, dan menolong kita. Atau kita bisa mengharapkan Tuhan
mencatat perbuatan baik kita ini dan melayakkan kita untuk masuk Surga. Ini
adalah pamrih juga!
d. Atau, kita mengharapkan balasan dari masyarakat, supaya kita dikenal sebagai orang dermawan.
e. Atau, kita berbuat
baik itu untuk membuat hati kita sendiri merasa
senang (euphoria),
supaya kita mendapat
kepuasan, karena kita merasa sudah “berbuat
kebaikan”.
Semua
motivasi ini dasarnya PAMRIH dan itu membuat perbuatan baik kita tidak ada
artinya di mata Tuhan.
Jadi,
lebih sering kita
berbuat baik itu bukan demi orang yang kita bantu, tetapi sebenarnya demi diri
kita sendiri.
Semua
motivasi ini membuat bantuan
yang kita berikan kepada saudara kita itu menjadi palsu, karena
sebenarnya motivasi kita menolongnya bukan karena dia, tetapi karena diri kita
sendiri. Kita menolongnya demi
kepentingan diri kita sendiri! Lalu kita sudah merasa kita ini orang
baik, orang yang suka membantu. Kita pasti selamat. Tidak! Kita hanya menipu
diri kita sendiri, sementara Tuhan tidak bisa kita tipu. Tuhan tahu motivasi
kita.
Bagaimanakah
supaya kita tidak terperosok jebakan Setan ini?
Rumusnya
hanya satu:
KITA HARUS LEBIH DULU MENGASIHI TUHAN
DENGAN SEGENAP HATI, SEGENAP JIWA DAN
SEGENAP AKAL BUDI
DAN SEGENAP
KEKUATAN KITA
Marilah
kita lihat apa kata Yesus:
Matius 22:37-39
37 Yesus berkata kepadanya, ‘Engkau harus mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap
jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. 38 Itulah Perintah yang utama dan
yang pertama. 39 Dan yang kedua, sama seperti itu: Engkau
harus mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri.’
Jika kita sudah bisa mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa
dan segenap akal budi, maka, mengasihi sesama
manusia seperti diri sendiri itu akan mengikuti dengan sendirinya.
Mengapa?
Karena itulah rumus
yang diberikan Yesus! Tuhan yang menciptakan kita, Tuhan yang paling tahu apa yang manjur dalam
hidup kita.
Jadi Hukum yang TERUTAMA DAN YANG PERTAMA
ialah “mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37);
Markus (12:30) dan Lukas (10:27) menambahkan juga “dengan segenap
kekuatanmu”. Berarti mengasihi Tuhan dengan setiap
sel tubuh kita. Ini mengasihi secara total, semata-mata mengasihi karena mengasihi, tidak
ada di dalamnya unsur pamrih.
Ini mirip kasih seorang ibu untuk bayinya yang belum bisa
apa-apa. Ibu itu rela melakukan apa saja demi si bayi walaupun dia harus
berkorban dan menderita. Umumnya seorang
ibu itu begitu, namun di dunia yang penuh dosa ini ada juga ibu-ibu yang tidak
mengasihi anak mereka secara total, yang cuma separo hati, bahkan ada yang tega
menyiksa anaknya, bahkan membuang bayinya. Kita tidak mengambil contoh ibu-ibu
yang kejam itu. Kita mengambil contoh ibu-ibu yang baik, yang penuh pengorbanan
dan dedikasi merawat bayinya. Nah, bila kita belum bisa mengasihi Tuhan seperti seorang ibu
yang baik yang mengasihi bayinya tanpa pamrih dengan setiap sel tubuhnya, kita
belum mematuhi perintah Tuhan ini. Kalau Tuhan belum
menjadi pusat kehidupan kita, kita belum mengasihiNya dengan segenap-segenap
kita. Kalau masih ada hal lain yang lebih kita utamakan daripada
mematuhi kehendak Tuhan dalam hidup kita, kita belum mengasihiNya dengan
segenap-segenap kita.
Nah, jika kepada Tuhan yang sedemikian baiknya kepada kita, yang telah
menebus hukuman dosa kita pada saat kita bahkan belum mengenalNya, Tuhan yang
memberi kita hidup, Tuhan yang memelihara kita setiap hari, kita tidak bisa mengasihi secara total dengan segenap-segenap kita, bagaimana
kita bisa benar-benar mengasihi orang lain yang tidak terlalu baik? Omong
kosong, bukan?
Manusia itu
tidak ada yang benar-benar baik. Dari waktu ke waktu, manusia itu
menjengkelkan, manusia berbuat hal-hal yang merugikan orang lain, manusia itu
tidak tahu berterima kasih, manusia itu mau menangnya sendiri, manusia itu
menyakitkan hati, bahkan manusia yang paling dekat dengan kita pun, bisa
membuat kita jengkel, marah, kecewa, dan sakit hati. Bagaimana kita berharap bisa mengasihi
manusia-manusia yang tidak benar-benar baik ini tanpa pamrih, jika kita belum
bisa mengasihi Tuhan yang mahabaik tanpa pamrih?
Seorang istri yang dikasari suaminya, tetapi bungkam, mungkin tidak
melawan bukan atas dasar kasih, melainkan ada beberapa kemungkinan:
Ø
Takut
malu didengar anak-anak atau tetangga, kok ribut.
Ø
Takut
perselisihan menjadi semakin besar dan tidak terkendali, hingga terjadi perceraian.
Ø
Takut
jika dicerai tidak mampu menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya.
Ø
Takut
kehilangan status sosial dan gengsi jika diceraikan.
Begitu pula seorang suami, yang sering memilih mengalah kepada istrinya
setiap kali istrinya berbuat sewenang-wenang, mayoritas bukan karena dia
mengasihi istrinya, tetapi karena malas aja ribut, atau demi anak-anak tidak
mau ribut, memilih diam di rumah, nanti mencari pelepasan di luar rumah, dll.
Jika suami-istri yang merupakan hubungan yang paling intim saja, masih
memakai sistem pamrih dalam hubungan mereka, apalagi hubungan dengan orang
lain.
Karena itu, Yesus memberi kita rumusnya: “harus mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu,
dan dengan segenap akal budimu. Itulah Perintah yang
utama dan yang pertama.” Jika
kita sudah bisa mengasihi Tuhan dengan segenap yang kita miliki, dengan setiap
sel di tubuh kita, maka kita akan bisa mengasihi sesama manusia seperti diri
sendiri tanpa rasa pamrih.
Mengapa?
1. Karena Tuhan akan menanamkan kasihNya di hati kita,
sehingga
kita bisa mengasihi orang lain tanpa pamrih.
2. Tuhan akan mengajar kita melihat sesama manusia sebagai diri
kita sendiri,
orang-orang
yang berdosa, orang-orang yang jahat, namun dikasihi oleh Tuhan. Dan jika Tuhan
yang Allah Khalik Pemilik alam semesta ini saja mau mengasihi mereka, maka kita
yang sama buruknya dengan mereka pun
patut saling mengasihi.
3. Dan Tuhan akan membuat kita senantiasa ingat, bahwa Tuhan
juga mati untuk semua orang,
jadi semua orang itu
berharga di mata Tuhan. Kita tidak punya hak untuk tidak menghargai mereka.
Jadi:
MENGASIHI SESAMA MANUSIA TANPA PAMRIH MERUPAKAN BUKTI
BAHWA KITA SUDAH MENGASIHI ALLAH DENGAN SEGENAP YANG KITA
MILIKI.
Jika hubungan kita dengan Tuhan beres, maka hubungan kita dengan sesama
manusia pun bisa beres. Jangan terbalik!
Tetapi jika hubungan kita dengan sesama belum beres, itu artinya hubungan
kita dengan Tuhan juga belum beres.
Nah, tapi ada satu batu sandungan. Terkadang sepertinya hubungan seseorang dengan sesama itu beres, namun dia tidak berTuhan.
Lho bagaimana ini? Ada banyak filantropis di dunia yang tidak berTuhan. Ada yang terang-terangan mengaku
atheis, ada yang mengaku beragama tapi tidak mematuhi Hukum Allah.
Berarti rumus yang diberikan Yesus tidak cocok?
BUKAN. Berarti sesungguhnya
orang-orang filantropis itu bukanlah berbuat tanpa pamrih. Mereka
kaya, mereka tidak membutuhkan pamrih harta, tapi mereka mencari kepuasan mental
sebagai filantropis, mereka
senang merasa puas bahwa mereka telah berkontribusi berbuat sesuatu yang
penting bagi kemanusiaan. Sebaik-baiknya tindakan mereka menolong
yang membutuhkan, tapi motivasi di balik perbuatan itu bukanlah motivasi yang
murni, karena ujung-ujungnya
juga pamrih, untuk memuaskan diri sendiri.
Jadi cara yang paling benar adalah mengikuti petunjuk Yesus. Dia yang
paling tahu bagaimana bisa hidup sukses sebagai manusia.
1. Pertama
belajar mengasihi Tuhan dengan segenap-segenap kita.
Itu
yang paling penting.
2. Kalau
Tuhan sudah kita beri tempat di dalam hati kita,
Tuhan
yang berkarya membentuk kita mengasihi sesama. Dan karena itu kasih yang
ditumbuhkan Tuhan, itu tidak pamrih.
Sekarang, bagaimana caranya mengasihi Allah dengan segenap-segenap yang
kita miliki? Allah tidak bisa kita peluk, tidak bisa kita cium, tidak bisa dipegang
tanganNya, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa kita benar-benar mau mengasihi
Allah?
Yohanes 14:15.
Jikalau
kamu mengasihi Aku, turuti Perintah-perintah-Ku.
1 Yohanes 2:5
Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu
sungguh kasih Allah sudah disempurnakan.
Dengan itulah kita tahu, bahwa kita ada di dalam Dia.
Jadi, jika kita berkata kita mengasihi Allah, tapi kita sengaja tidak
menuruti Perintah-perintahNya, kita berbohong, itu namanya kita belum mengasihi
Allah. “Perintah-perintah”Nya
itu berarti semua perintahNya, bukan hanya
satu Perintah, tapi jamak, semua PerintahNya.
Begitu juga “menuruti
FirmanNya”, itu berarti semua
yang dikatakan Allah, semua Firman yang tertulis di Kitab Suci. Kata kuncinya pada
“SEMUA”, bukan satu-dua.
Perhatikan, ada suatu pemahaman yang harus kita mengerti:
v Jangan menganggap jika kita sudah berbuat baik kepada manusia itu buktinya kita sudah mengasihi Tuhan.
Selama
dasar perbuatan baik kita itu masih ada pamrihnya, itu bukan perbuatan baik
untuk orang lain, melainkan perbuatan baik untuk diri kita sendiri. Kita ternyata belum mengasihi Tuhan.
v Tetapi jika kita juga belum berbuat apa-apa demi kebaikan manusia yang lain,
jika
kita belum mengasihi manusia yang lain, itu juga bukti bahwa kita belum sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.
1 Yohanes 4:20-21
20 Jikalau seorang berkata, ‘Aku mengasihi Allah,’ dan membenci
saudaranya, ia seorang pendusta, karena dia yang
tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, mana
bisa dia mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya? 21 Dan perintah
ini kita terima dari Dia, yakni dia yang mengasihi Allah, mengasihi saudaranya juga.
Jadi, jika kita belum bisa benar-benar mengasihi sesama manusia tanpa
pamrih, itu berarti kita juga belum mengasihi Allah dengan “segenap-segenap”
yang kita miliki.
Jadi semuanya harus
berangkat dari KASIH KITA KEPADA TUHAN.
Dan kita baru bisa mulai mengasihi Tuhan jika kita menyadari betapa besar kasih Tuhan
kepada kita, betapa besar pengorbananNya bagi kita, Dia yang Khalik semesta alam, Raja segala raja, yang dilayani
berlaksa malaikat di Surga, sudah rela meninggalkan semua itu untuk menjalani
kehidupan kita di dunia ini, sebagai rakyat jelata, sebagai orang yang tidak
punya apa-apa, meninggalkan segala kuasaNya, untuk menjalani suatu kehidupan
yang melarat, harus bekerja keras sebagai tukang kayu, hingga akhirnya rela
dipukuli, disiksa, dan ujungnya mati disalibkan, suatu kematian yang begitu
mengerikan dan begitu sengsara, bahkan yang lebih mengerikan dari semua itu,
Dia harus memikul beban dosa semua
manusia, kematian kekal semua manusia yang pernah hidup. Semua itu untuk
menyelamatkan kita dari kematian kekal. Jika kita bisa merasakan kasih
Tuhan yang sedemikian besar ini, barulah kita bisa mengasihiNya. Dan bukti bahwa kita sudah mengasihi
Tuhan adalah kita mau menuruti segala perintahNya.
Yohanes 14:15.
Jikalau
kamu mengasihi Aku, turuti Perintah-perintah-Ku.
Karena dikatakan “Perintah-perintah” itu artinya semuanya. LAI menerjemahkannya “segala perintah”. Berarti tidak ada pilah pilih, tidak bisa mengatakan yang ini
OK, yang itu tidak cocok buatku, tidak usah. Harus semuanya. Jika masih ada Perintah, peraturan, ketentuan Tuhan yang tidak
mau kita patuhi, berarti kita belum mengasihi Tuhan, kita masih lebih mengasihi
diri kita sendiri, kita masih lebih mementingkan diri sendiri.
Jika kita menempuh ujian
kelulusan suatu hal, dan ada 10 mata pelajaran yang diuji, bisakah kita lulus
jika kita mengatakan kita hanya mau mengikuti yang 6 saja, yang 4 tidak? Bahkan
bila kita mau mengikuti 9 dari 10 mata pelajaran tapi yang 1 tidak, bisakah
kita lulus? Demikian pula dengan “menuruti Perintah-perintah”, kalau bukan “segala” maka tidak
masuk hitungan.
Yakobus 2:10-11
10 Sebab barangsiapa yang menuruti seluruh Hukum itu, tetapi melanggar dalam satu hal darinya, ia bersalah
terhadap seluruhnya. 11 Sebab Ia
yang mengatakan, ‘Jangan berzinah’, mengatakan juga ‘Jangan membunuh’. Jadi
jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar Hukum.
Kita
harus paham, bahwa yang dilanggar bukan semata-mata Hukum/Perintahnya,
melainkan autoritas Dia yang membuat Perintah/Hukum itu. Jadi melanggar
Perintah/Hukum yang mana pun, itu melanggar autoritas Tuhan. Dan
sengaja melanggar autoritas Tuhan itu
sebetulnya adalah perbuatan makar. Dan makar kepada Raja alam
semesta itu tidak main-main lho konsekuensinya.
03 01 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar