Sabtu, 20 Agustus 2016

173. PLURALISME .... PLURALISME ... PLURALISME


173.  PLURALISME…PLURALISME…PLURALISME

______________________________________

 

Apa pemahaman kita akan kata “PLURALISME”?

Semua tahu kata “plural” artinya lebih dari satu, jamak, beragam. Maka “Pluralisme” bolehlah kita artikan pola pikir atau faham yang bisa menerima keberagaman segala jenis.

Sekarang aplikasinya.

Nah, ini yang sering disalahpahami oleh banyak orang.

 

MENERIMA PERBEDAAN ORANG LAIN, ARTINYA TIDAK MEMPERLAKUKAN ORANG LAIN YANG BERBEDA DENGAN KITA SECARA TIDAK BAIK KARENA PERBEDAAN TERSEBUT.

 

Jadi, misalnya kita bertetangga dengan seorang koruptor. Kita bukan koruptor, tapi tetangga kita ini koruptor, dan kita tahu bahwa dia seorang koruptur, berarti dia berbeda dengan kita, bukan?  Kalau tetangga kita yang koruptor ini suatu hari jatuh, pas lewat di depan rumah kita dan kita melihat, seorang pluralis akan segera memberikan pertolongan tanpa memandang apakah dia seorang koruptor atau bukan.

Itu artinya, kita memperlakukan orang yang berbeda dengan kita, sama seperti kita memperlakukan diri kita sendiri atau orang-orang yang sama dengan kita (dalam hal ini yang bukan koruptor).

Inilah aplikasi pluralisme, yaitu MEMPERLAKUKAN ORANG-ORANG YANG BERBEDA DENGAN KITA, SAMA BAIKNYA SEPERTI MEMPERLAKUKAN DIRI KITA SENDIRI dan orang-orang yang sama dengan kita.

 

Satu contoh lain. Misalnya tetangga kita itu dua laki-laki yang hidup bareng sebagai pasangan gay. Pluralisme berarti kita tetap berteman dengan mereka, menyapa kalau bertemu, saling berinteraksi, ngobrol, dan bila mereka lagi membutuhkan bantuan, ya kita bantu, tanpa membedakan mereka dengan tetangga yang lain yang tidak gay. Jangan karena tetangga ini gay lalu rumahnya terbakar kita diam saja tidak menolongnya. Itu aplikasi pluralisme.

 

Contoh lagi.

Misalnya kita mengenal seorang yang atheis, yang tidak mengakui ada Tuhan. Bolehkah kita berteman dengannya? Boleh. Asalkan jangan sampai kita lalu terseret ikut dia juga tidak mengakui Tuhan. Kalau orang atheis ini kecelakaan di jalan, dan kita pas ada di sana, ya kita harus menolongnya, membawanya ke rumah sakit, memberitahu keluarganya, dan memberikan apa saja bantuan yang diperlukan pada saat itu.

 

 

Jadi intinya adalah, memperlakukan setiap orang yang berbeda dengan kita secara  ras, agama, suku, bahasa, kebudayaan, status ekonomi, pendidikan, kejanggalan, dll. sama baiknya seperti kita memperlakukan orang-orang yang tidak berbeda dengan kita. Dengan kata lain, kita akan MEMPERLAKUKAN SEMUA ORANG SEBAGAIMANA KITA SENDIRI INGIN DIPERLAKUKAN OLEH MEREKA, dengan kebaikan yang tulus.

Jadi bila kita sudah memakai pola pikir dan pola tindak ini, kita adalah PLURALIS.

Mirip ajaran Kristen, tidak? Iya! Itulah yang diajarkan dan dilakukan Kristus.

 

Jadi seorang Kristen sejati itu seorang Pluralis.

Tapi seorang Pluralis belum tentu seorang Kristen.

 

 

Tetapi, ini yang harus kita ingat baik-baik: sebagai PLURALIS tidak berarti kita lalu menjadi bunglon, atau plin-plan, atau mengorbankan prinsip-prinsip kita sendiri.

Maka, walaupun berlaku baik dan siap membantu tetangga kita yang koruptor, tidak berarti lalu kita membenarkan perbuatannya mengorupsi, apalagi membantunya menyembunykan hasil korupsinya. Kita tetap harus berkata bahwa korupsi adalah tindak kejahatan, karena undang-undang Negara berkata demikian.

Sama dengan tetangga kita yang gay, walaupun kita setiap hari menyapa dan bicara dengan mereka, tetapi kita tetap harus berkata bahwa hubungan sesama jenis itu dosa menurut agama. Bila karena satu dan lain hal mereka harus menginap di rumah kita, kita tidak boleh menempatkan mereka dalam kamar yang sama berdua saja.

Dan bila teman yang atheis itu mengatakan bahwa sains membuktikan tidak ada Tuhan, kita jangan mengiyakan, kita harus yakin 100% bahwa Tuhan itu ada, dan kita harus menyatakan posisi kita dengan jelas, bahwa kita yakin Tuhan itu ada. Kita harus mampu mempertahankan apa yang kita Imani.

 

Jadi, sebagai PLURALIS, tidak berarti KITA MENOLERANSI KESALAHAN, dan menganggapnya BENAR!

 

“Oh, kita tidak boleh menghakimi sesama manusia!” banyak orang sok-benar berkata begitu. Tetapi ikut mengatakan apa yang dikatakan oleh Negara dan Tuhan sebagai dosa, itu bukan menghakimi. Memang sudah ada ketentuannya, sudah ada Hukumnya, baik itu Hukum Negara, maupun itu Hukum Tuhan. Jadi kita tidak menghakimi. Kita hanya mengikuti apa yang sudah ditentukan oleh Negara dan Tuhan apa yang dosa, apa yang tidak. Kita hanya mengaplikasikan ketentuan itu dalam hidup kita.

Misalnya, kalau ada pencuri menjambret tas, dan kita berteriak “Maling!” itu bukan menghakimi. Karena perbuatan menjambret milik orang lain, sudah ditentukan oleh Negara dan oleh Tuhan sebagai perbuatan maling. Kita hanya mengaplikasikannya.

 

Jadi, terhadap tetangga kita yang koruptor, walaupun kita selalu memperlakukannya dengan baik, tetap kita tidak boleh mengatakan kepadanya, “Apa yang kamu lakukan itu benar kok, tidak apa-apa. Korupsi saja, selama tidak ketahuan. Karena kamu menganggapnya benar, maka saya yang pluralis, juga menganggap itu benar.” Begitu? Apa tidak konyol itu?

 

Dan kepada pasangan gay tetangga kita, kita berkata, “Oh, tidak apa-apa, itu cuma lifestyle, setiap orang bebas menentukan pola hidupnya sendiri. Saya ini pluralis, jadi saya setuju-setuju saja. Kalau menurut kalian itu benar, siapalah saya menghakimi?” Begitu? No!

 

Lalu kepada teman yang atheis yang mengatakan bahwa manusia itu procotan dari monyet bukan ciptaan Tuhan karena tidak ada Tuhan, apakah kita juga berkata, “Iya, benar, memang sains mendukung teori Evolusi. Manusia memang berasal dari monyet.” Kalau begitu, kita membuat malu Tuhan kita yang telah menciptakan kita menurut gambar dan rupaNya!

Itu namanya kita bukan PLURALIS tapi kita BUNGLONIS.

Jika seorang Pluralis harus menerima segala sebagai kebenaran, maka hanya penjahat yang bisa menjadi pluralis, karena penjahat itu menganggap semua benar, tidak ada yang salah; yang benar ya benar, yang salah ya benar. Bagi penjahat tidak ada batasan Hukum, baik itu Hukum Negara maupun Hukum Tuhan. Mau mencuri kek, menipu kek, korupsi kek, jadi dealer narkoba kek, berzinah dan berhubungan seksual yang tidak wajar kek, semua itu boleh-boleh saja. Tidak ada larangan. Penjahat tidak mengenal Hukum. Tapi PLURALIS MENGENAL Hukum, PLURALIS BUKAN PENJAHAT.

Pikirkan itu.

 

 

Sekarang, aku mau lebih spesifik, yaitu membahas  PLURALIS YANG BERKEYAKINAN KRISTEN.

 

Nah, banyak dari kita yang bingung antara bersikap pluralis dengan menjadi bunglon atau tidak punya prinsip.

Yang aku maksudkan prinsip di sini adalah keyakinan yang kita pegang dalam hidup. Ada orang yang menyebutnya agama, tetapi aku lebih suka menyebutnya AJARAN-AJARAN TUHAN YANG KITA YAKINI.  Kata “agama” itu terlalu luas karena mencakup bukan hanya ajaran Tuhan tetapi juga segala ajaran dan ritual ibadah yang diciptakan manusia. Karena itu aku lebih suka memangkasnya ke intinya saja, yaitu “HANYA AJARAN-AJARAN TUHAN YANG KITA YAKINI”, tanpa segala ritual dan ajaran ciptaan manusia di dalamnya. Karena manusia semua tidak ada yang sempurna, dan hanya Tuhan yang sempurna dan tidak bisa salah.

 

 

Contoh: sebagai orang Kristen, aku meyakini bahwa hidup dan mati itu hanya satu kali. Orang Buddha meyakini reinkarnasi. Sebagai pluralis, berarti aku bisa tetap berteman dengan orang-orang Buddha, bisa ngobrol bareng, bisa tertawa bareng, bisa bergaul dengan akrab, bisa tolong-menolong, dll. Tetapi bagaimana aku bisa membenarkan adanya reinkarnasi karena  Alkitab mengatakan manusia hanya hidup dan mati satu kali, bahwa jiwa itu tidak baka? Tidak mungkin, kan? Jika aku membenarkan reinkarnasi itu ada atas nama pluralisme, itu namanya aku bukan pluralis tapi bunglonis. Dan itu artinya aku mengkhianati apa yang aku yakini sendiri.

Jadi bagaimana?

Walaupun aku bisa bergaul dengan teman-teman Buddha, tapi bila mereka bicara tentang reinkarnasi, aku harus mengatakan bahwa aku tidak sepaham dengan mereka. Kalau mereka mengatakan mungkin nyamuk yang terbang itu pernah keluarga mereka yang bereinkarnasi, aku harus tetap mengatakan bahwa menurut keyakinanku nyamuk ya nyamuk bukan manusia yang bereinkarnasi.

Jadi kita harus menjelaskan kepada mereka di mana posisi kita. Jangan diam saja. Kita harus menyatakan keyakinan kita.

 

Contoh: Jika kita diajak ikut acara berdoa bersama dengan banyak agama yang lain, sebagai Pluralis Kristen, kita ikut berdoa tidak?

TIDAK!

Karena ajaran Kristen mengatakan kita berdoa hanya kepada Allah Bapa, dalam nama Yesus Kristus. Bagaimana kita bisa ikut dalam doa mereka yang tidak mengakui Yesus Kristus dan tidak berdoa kepada Allah Bapa? Bagaimana kita bisa mengamini doa yang tidak ditujukan kepada Allah Bapa dalam nama Yesus Kristus?

 

Jadi biarpun kita Pluralis dan kita menghormati keyakinan orang lain, kita tidak bisa berdoa bersama-sama dengan mereka.

Beda dengan jika kita berada dalam pesawat yang mau jatuh, lalu 300 penumpang masing-masing berdoa sendiri-sendiri. Walaupun itu di dalam pesawat yang sama, tapi itu bukan doa bersama, itu doa sendiri-sendiri.

 

Contoh: Jika kita berjualan di pasar misalnya, kita jualan beras, lalu datang seorang gay, atau seorang banci, atau seorang pembunuh, atau seorang koruptor, mau membeli beras di toko kita, kita layani tidak?

Harus dilayani dengan ramah pula, karena dia datang sebagai pembeli! Asal dia membayar, ya kita layani plus senyum, dengan sebaik-baiknya.

Kedatangannya tidak ada kaitannya dengan fakta apakah dia gay, atau banci, atau laki-laki tulen, atau orang saleh, atau orang jahat. Selama dia bersedia membayar, ya dia dilayani dengan baik seperti pembeli yang lain.

 

Contoh: Tetapi kalau kita punya kenalan teman yang mau berselingkuh, dan kita tahu itu bukan pasangannya yang resmi, dan mereka mau meminjam atau menyewa atau mengontrak rumah/homestay/villa kita sebagai tempat untuk berbuat mesum itu, kita layani tidak?

TIDAK! Karena mereka mau memakai sesuatu milik kita untuk tempat melakukan dosa mereka. Di sini jelas-jelas kita harus menolak. Menolak mereka bukan tidak pluralis. Kita harus bersikap tegas. Tidak boleh kita berkata asal dia membayar, apa yang dia lakukan di rumah/villa kita itu urusannya sendiri. Jika kita memfasilitasi orang lain berbuat dosa, kita ikut berdosa.

Atau jika kita seorang pialang (makelar/broker) rumah, kita diminta teman kita untuk mencarikan rumah/tempat bagi perempuan simpanannya, bagaimana kita menyikapinya?  Kita harus menolaknya. Jangan beranggapan kalau bukan kita yang mencarikan toh dia akan mencari pialang lain untuk mencarikan, ya sudah lebih baik fee pialangnya jatuh ke tangan kita saja. Kita dihitung Tuhan ikut berdosa.

Jangan membantu orang lain berbuat dosa, karena jika kita membantu orang lain berbuat dosa, kita sendiri juga ikut berdosa.

 

Contoh: Kalau kita ke salon, dan stylistnya adalah seorang banci, bolehkah rambut kita dipotong olehnya?

Boleh. Karena yang memotong rambut itu tangannya, keahliannya, bukan kecenderungan seksualnya. Apakah stylist ini bekas napi, atau pezinah, atau pencuri, atau apa pun dosanya, tidak jadi masalah karena kita hanya memakai keahliannya sebagai pemotong rambut.

 

Contoh: Kalau kita ke restoran, dan chefnya seorang banci, bolehkah kita makan masakannya?

Boleh. Karena keahliannya memasak yang kita nikmati di sini, bukan status gendernya. Dia tidak memasak dengan gendernya.

 

Contoh: Lebih sulit nih. Kalau kita seorang dokter dan ada yang minta operasi  transgender, kita layani tidak?

TIDAK! Karena kita tidak boleh memfasilitasi penyimpangan yang dilarang Tuhan.

Tetapi kalau seorang banci atau gay menderita usus buntu, dan kita ini dokter bedah yang berdinas, kita boleh mengoperasinya atau tidak?

Boleh! Karena penyakitnya tidak ada kaitannya dengan orientasi seksualnya.

Conntoh: Jika ada pasangan LGBTQ datang ke gereja kita, bagaimana sikap kita? Apakah langsung kita tolak dan kita dorong mereka keluar?

TIDAK! Kita terima mereka dengan baik sama seperti orang-orang lain yang datang beribadah di sana. Tentunya dengan catatan mereka bersikap sopan di dalam gereja, layaknya orang-orang lainnya yang beribadah di dalam gereja. Kalau mereka berbuat yang tidak sopan/tidak senonoh di dalam gereja, ya harus ditegur, dan jika setelah ditegur mereka tetap demikian, barulah mereka diantarkan keluar pintu. Tetapi ingat, mereka ditegur bukan karena mereka LGBTQ, tetapi karena mereka bersikap tidak sopan atau tidak senonoh di dalam gereja. Orang-orang normal pun kalau bersikap tidak sopan di dalam gereja juga harus kita tegur dan jika mereka masih begitu, ya  juga dipersilakan keluar.

Mengapa kita menerima mereka? Karena setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendengarkan Firman Tuhan dan diselamatkan.

Baguslah jika mereka masih mau masuk gereja. Mungkin mereka berusaha minta bantuan Tuhan agar bisa keluar dari masalah mereka. Maka anggota gereja perlu membantu mereka baik dalam memberikan kesempatan bertobat kepada mereka, mendoakan mereka, menguatkan niat baik mereka, dan menuntun mereka kembali ke jalan yang benar.

 

Tetapi jika ada pasangan LGBTQ datang ke gereja dan minta dinikahkan di sana, maka gereja yang benar HARUS MENOLAKNYA. Mengapa? Karena itu sudah berarti membantu orang lain berbuat dosa, mengesahkan suatu hubungan yang dilarang oleh Tuhan.  Menerima sesuatu yang sudah dicap Tuhan sebagai perbuatan dosa, apalagi dosa yang keji (abomination), itu bukan pluralisme tapi makar kepada Tuhan!

Jika gereja kalian menerimanya, sudah waktunya kalian mencari gereja yang lain, yang berpegang pada ajaran Tuhan dan tidak mengikuti trend dunia.


Jadi dalam hal ini kita harus bisa memisahkan antara bersikap pluralis dalam hubungan antar-manusia (berteman, bergaul, tolong menolong dll.) tanpa mengorbankan keyakinan kita sendiri, dengan membenarkan apa yang dilarang oleh Firman Tuhan.

 

 

Semakin mendekati akhir zaman isu kekacauan gender ini akan menjadi semakin membesar. Ini sudah dikatakan Yesus 2000 tahun yang lalu.

Lukas 17:28-30

Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan, mereka  minum, mereka membeli, mereka menjual, mereka menanam, mereka  membangun. Tetapi pada hari yang sama Lot keluar dari Sodom, turunlah hujan api dan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua. Demikianlah halnya kelak pada hari, ketika Anak Manusia dinyatakan

 

Ingat kisah Sodom dan Gomora? Kata “Sodom” sampai dijadikan kata kerja untuk menggambarkan praktek hubungan seksual yang menjijikan.

Bagaimana nasib kota Sodom dan Gomora? Habis dibakar Tuhan. Penyimpangan seksual merupakan salah satu kejijikan (abomination) di mata Tuhan.

Tetapi sekarang manusia-manusia yang tidak takut Tuhan, semakin lama semakin terang-terangan berani menantang Tuhan. 100 tahun yang lalu orang-orang ini masih merasa malu dan berdosa melakukan penyimpangan seksual, sebisa-bisanya mereka menyembunyikan fakta itu. Tapi hari ini mereka secara terbuka terang-terangan mengakui dengan bangga penyimpangan seksual mereka. Seleb-seleb malah dielu-elukan. Dan lebih parah lagi, perbuatan mereka mendapatkan dukungan dari banyak orang, termasuk para rohaniawan yang seharusnya tahu bahwa itu dosa.

Bahkan orang-orang yang normal pun sekarang sengaja mengacaukan pemisahan gender yang dibuat Tuhan saat penciptaan dengan menjadikan diri mereka “non-binari”, artinya tidak mau diidentifikasi sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka berdandan dan berpakaian setengah laki-laki dan setengah perempuan, mereka memakai nama-nama yang tidak jelas apakah itu nama perempuan atau laki-laki. Dan mereka membesarkan anak-anak mereka dengan konsep yang sama.

 

Bagaimana sikap seorang Kristen pluralis menghadapi ini?

Kita harus tetap berdiri di atas kebenaran Alkitab. Kita memperlakukan mereka sebagai “sesama manusia”, tetapi kita tidak boleh membenarkan dosa yang mereka lakukan, dan kita tidak boleh memfasilitasi perbuatan dosa mereka.

 

 

Sekarang, pertanyaannya adalah, APAKAH SEORANG YANG PLURALIS KRISTEN ITU HARUS MEMBERITAHU ORANG LAIN BAHWA PERBUATANNYA MENURUT AJARAN KRISTEN ADALAH SALAH ATAU DOSA?

 

Jawabannya tentu sangat bergantung kepada SEBERAPA KOMITED KITA KEPADA KEYAKINAN KITA, dan SEBERAPA BESAR KASIH KITA KEPADA ORANG TERSEBUT.

 

Kebanyakan kita akan menghindari hal itu, karena mengatakan perbuatan orang lain tidak benar, bukan posisi yang enak. Resikonya besar. Bisa-bisa mendapat sumpah serapah dari banyak pihak, kita dituduh sok-suci, dituduh bigot, dituduh melanggar hak asazi, dibully habis-habisan, dll.  karena itu biasanya kita biarkan saja. Dengan dalih toleransi, kita bersembunyi di balik tameng pluralisme, dan kita biarkan teman kita itu terus berbuat dosa. Toh kelak dia sendiri yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan, kenapa kita yang bingung? Kita tidak mau dikenal sebagai orang yang bawel, yang dituduh menghakimi orang lain. Kita mau dikenal sebagai orang yang baik hati, yang toleransi, yang cuma mengucapkan kata-kata yang manis, yang tidak pernah menyinggung orang, dll. Dan kebanyakan kita memutuskan untuk membiarkan saja setiap orang menjalani kehidupannya sendiri, mau selamat kek, mau binasa kek, bukan urusan kita. Yang penting kita dikenal sebagai orang baik, orang yang pandai bergaul. Di mata dunia.

 

Nah, kita sudah tahu kan bahwa pandangan dunia selalu bertolak belakang dengan pandangan Tuhan? Maka kita boleh yakin, apa yang dianggap dunia baik, bisa-bisa malah itu dianggap Tuhan tidak baik.

Dengar apa kata Tuhan!

Bagi teman-temanku yang Kristen, aku akan menunjukkan beberapa ayat. Ternyata Tuhan akan minta pertanggungjawaban kita juga kelak! Jadi jangan enak-enak hanya mau memainkan peranan sebagai orang yang manis. Jika kita tidak menegur saudara kita yang berbuat kesalahan, Tuhan akan menuntut pertanggungjawabannya dari kita.

 

Yehezkiel pasal 3 ~ di sini Tuhan berbicara kepada kita:    

3:18         Bila Aku berfirman kepada orang jahat, ‘Kamu pasti akan mati!’ -- dan  engkau tidak memperingatkan dia atau berbicara untuk memperingatkan orang jahat itu dari hidupnya yang jahat, untuk menyelamatkan nyawanya, orang jahat tersebut akan mati dalam dosanya, tetapi darahnya akan Aku tuntut dari tanganmu.

3:19         Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu, dan ia tidak berbalik dari kejahatannya, maupun dari hidupnya yang jahat, ia akan mati dalam dosanya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu.

3:20         Lagi, bila seorang yang benar berbalik dari kebenarannya dan berbuat dosa, dan Aku meletakkan batu sandungan di hadapannya, ia akan mati. Oleh karena engkau tidak memberinya peringatan, ia akan mati dalam dosanya dan kebenaran yang telah dilakukannya tidak akan diingat, tetapi darahnya akan Aku tuntut dari tanganmu.

3:21         Namun begitu, jikalau engkau memperingatkan orang yang benar itu, supaya orang benar itu tidak berbuat dosa, dan dia tidak berbuat dosa, ia pasti akan hidup, sebab ia telah diperingatkan, dan engkau juga telah menyelamatkan nyawamu. 


Jadi, jangan enak-enak, teman-teman, walaupun kita adalah pluralis, jika kita tahu ada teman kita yang sudah berbuat jahat, atau hidup dalam dosa, kita tetap wajib menunjukkan kesalahan mereka. Jika tidak, dan dia mati dalam dosanya, maka Tuhan akan menuntut pertanggungjawabannya dari kita, karena kita punya kesempatan untuk menolongnya namun kesempatan itu tidak kita gunakan.

 

 

Bagaimana cara seorang Kristen Pluralis memberitahu orang lain tentang perbuatan mereka yang melanggar Hukum?

Apakah itu lalu berarti kita harus memaksa teman-teman kita yang salah jalan untuk bertobat?

Kalau tidak mau bertobat lalu kita gebukin?

Kita tidak mau berteman dengannya lagi, atau kita mengucilkannya, atau kita menyiksanya, atau berbuat jahat kepadanya?

TIDAK! 

Andai kita berbuat begitu, berarti kita sendiri sudah berdosa. Tidak. Tugas kita kata Tuhan adalah “memperingatkan” orang saja, bukan “memaksa” dia, apalagi menghukum dia jika dia tidak mau mendengar peringatan kita. TIDAK. TIDAK. Itulah yang dilakukan Kepausan dalam Inquisisi mereka yang kejam. Semua orang yang dianggap melawan gereja, ditangkap, harta bendanya dirampas, orangnya disiksa dengan alat-alat penyiksa yang mengerikan (lihat saja di Google, banyak gambarnya), dibakar hidup-hidup, dijadikan makanan binatang buas, digantung, ditarik kaki dan tangannya sampai terlepas dari tubuhnya, dan macam-macam kekejaman lainnya.

Tuhan tidak memberi kita wewenang untuk menghukum orang lain hanya karena orang tersebut tidak mau menerima pendapat kita.

Jadi kita memberitahu mereka bagaimana ajaran Tuhan kita, dengan lemah lembut, dengan sabar, tanpa membuat mereka malu.

Kita saja kalau berbuat salah Tuhan tidak memarahi kita, Tuhan menegur kita dengan sabar dan lembut lewat segala cara yang tidak kentara, yang tidak mempermalukan kita, maka kita yang sesama manusia berdosa juga harus bersikap lembut dan sabar, jangan mempermalukan orang, beri dia kesempatan untuk mundur secara terhormat. Tujuan kita menegur mereka ialah agar mereka bertobat dan selamat, bukan untuk mencari musuh dan menyinggung mereka, jadi jangan bertengkar. Kita pasti akan menghadapi bermacam-macam reaksi. Ada yang marah, ada yang lalu tidak mau bicara lagi dengan kita, ada yang tidak mau mendengar. Jadi kalau kita mendapatkan reaksi demikian, ya kita maklumi. Kalau kita sudah berusaha, sudah kita doakan, teman kita tetap tidak mau terima, ya kita hormati pilihannya. Kita tidak boleh memaksa. Kita sudah melakukan kewajiban kita, selebihnya serahkan kepada Roh Kudus. Tapi siapa tahu dari antara sekian banyak yang tidak mau mendengar ada 1-2 yang mau?

 

 

Jadi SEORANG PLURALIS TETAP WAJIB MEMBERITAHU ORANG LAIN JIKA KITA TAHU APA YANG DILAKUKANNYA ITU BERTENTANGAN DENGAN KEBENARAN YANG KITA YAKINI.

1.    Kita manusia hanya:

·       Menyampaikan/membagikan kebenaran

·       Memperingatkan/menunjukkan kesalahan sesuai ajaran Alkitab

2.    Membuat orang yang mendengar, mau atau tidak menerima kebenaran itu, itu bagian Roh Kudus.

3.    Menghukum orang yang tidak bertobat itu nanti bagian Tuhan.

 

Jadi kita lakukan saja tugas kita, tidak lebih, tidak kurang. Janganlah kita mengambil wewenang Roh Kudus, jangan kita merebut kuasa Tuhan. Tetapi jangan pula kita tidak melakukan tugas yang dibebankan kepada kita.

 

 

 

20 08 14

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar