216. BERJALAN BERSAMA
________________________________________________________________________________________________________
SEBUAH KESAKSIAN
Aku sedang naik
kereta kuda, dokar istilahnya di kotaku. Dulu waktu aku kecil ke mana-mana
orang naik dokar karena mobil dan motor sangat terbatas jumlahnya.
Dan aku yang
memegang tali kekang kuda, sementara di depanku terbentang jalanan yang panjang,
yang tidak kelihatan ujungnya, dan jalan itu penuh lubang.
Aku membawa
dokarku lewat di jalan itu. Tentu saja walaupun dengan susah payah aku berusaha
menghindari lubang-lubang itu, tetap saja roda dokar itu bergantian masuk ke
lubang-lubang itu, kadang roda yang kiri, kadang roda yang kanan, kadang
kedua-duanya. Kadang lubangnya kecil, kadang besar, tetapi karena aku tidak mau
terjebak di sana, maka dengan segala cara aku berusaha membawa dokar itu keluar
dari lubang itu supaya aku bisa melanjutkan perjalananku. Tidak jarang aku
tidak berhasil keluar dari lubang itu, dan kalau sudah sepertinya tidak ada
solusi, ada saja orang yang lewat yang membantuku mendorong dokar itu atau
menariknya sehingga dokar itu terbebas dari lubang.
Maka tahun demi
tahun pun lewat.
Jalan yang harus
aku lewati itu lubangnya tidak berkurang, dan ujungnya juga belum tampak. Dan setelah
bertahun-tahun pun aku masih dengan susah payah membawa dokarku melewatinya.
Suatu kali,
Tuhan datang dan duduk di sampingku. Dan Dia merasakan bagaimana susahnya aku
memanuver dokar ini supaya tidak terjeglong dalam lubang, yang banyak gagalnya
daripada berhasilnya.
Dan Tuhan
bertanya, “Bagaimana? Sudah merasa lebih terampil sekarang?”
Aku menjawab,
“Masih belum, Tuhan, tapi sudah mendingan dibanding awal-awal dulu.”
Tuhan bertanya,
“Masih belum putus asa, kan?”
Aku menjawab,
“Jelas, Tuhan, aku kan mau tiba di tujuan.”
“Bagus,” kata
Tuhan. “Kita nanti bertemu di tujuan.” Dan Dia pun lenyap.
Aku melanjutkan
sibuk memanuver dokarku lagi.
Sekian tahun
lagi lewat.
Dan suatu hari
Tuhan tiba-tiba duduk di sampingku lagi.
“Sudah mahir
sekarang?” tanyaNya.
“Yah, lumayan,”
kataku, malu untuk mengakui setelah sekian tahun kok masih belum mahir.
“Jadi tidak
perlu bantuan ya?” tanya Tuhan. “Kalau tidak sanggup, bilang.”
“Eh, aku masih
bisa, Tuhan.” Aku menoleh ke belakang. Lho, kok sepertinya aku masih melihat
rumah dari mana aku dulu mulai? Padahal aku sudah begitu lama mengemudikan
dokar ini. Ah, tidak mungkin. Pasti aku salah lihat. Itu pasti rumah lain,
hanya mirip saja dengan rumahku. Aku pasti sudah lewat sangat jauh. Tapi hatiku
mulai bimbang.
“Oke,” kata
Tuhan. “Kamu yang lebih tahu.” Dan Dia lenyap lagi.
Dan aku pun
berkutet sendiri lagi dengan lubang-lubang di jalan itu sekian tahun lagi.
Sampai aku
benar-benar merasa capek. Kenapa jalan itu begitu buruk kondisinya? Kenapa
tidak ada yang memperbaikinya? Sekarang aku lebih sering menoleh ke belakang.
Kok dokar ini maju terus tapi kok aku masih melihat rumah itu? Aku mulai panik.
Astaga, apakah selama sekian puluh tahun ini aku jalan di tempat tidak maju-maju?
Kok sepertinya maju masuk-keluar lubang tapi kenapa tidak? Ya, Tuhan, gimana ini? Tolong aku!
Dan tiba-tiba Tuhan
datang lagi duduk di sampingku.
Dokar ini
kondisinya sekarang sudah lebih jelek, lebih aus daripada saat pertama aku
memulai perjalananku puluhan tahun yang lalu. Begitu juga kondisiku, jauh lebih
jelek daripada beberapa dekade yang lalu.
“Gimana?” tanya
Tuhan. “Aku dengar kamu memanggilKu.”
“Tuhan, apakah
aku sedang jalan di tempat?” tanyaku.
Tuhan tersenyum
tidak menjawab.
“Kenapa kalau
aku menoleh aku masih melihat rumah dari mana aku mulai?” tanyaku.
“Menolehlah
sekarang,” kata Tuhan.
Aku menoleh dan
ternyata kali ini aku tidak melihat rumah itu lagi.
“Kamu sudah
mulai maju,” kata Tuhan.
“Masih berapa
jauhnya lagi, Tuhan?” tanyaku. Nada lelah.
“Sejauh yang
dibutuhkan,” kata Tuhan.
“Aku sudah
capek, Tuhan. Apa tidak ada jalan lain yang mulus? Kenapa jalannya begitu
banyak lubangnya?”
“Lubang-lubang
itu memang selalu dibuat musuhKu untuk menyusahkan semua yang lewat,” kata
Tuhan.
“Kenapa Tuhan
tidak menyingkirkan dia dan menutup lubang-lubang itu?” tanyaku jengkel.
“Karena
kontraknya belum jatuh tempo,” kata Tuhan. “Masih kurang sedikit waktu lagi.”
“Tapi tanganku
sudah penuh luka dan kapal dari bertahun-tahun memegang tali kekang, dan sampai
sekarang aku masih belum mahir menghindari lubang-lubang itu,” kataku akhirnya
mengakui ketidaksanggupanku, sambil menunjukkan kedua tanganku yang penuh
guratan bekas luka yang sudah sembuh dan luka baru yang masih merah.
Tuhan mengulurkan
tanganNya.
“Boleh?”
Karena tanganku
sakit aku serahkan tali kekang ke tangan Tuhan.
“Kamu
beristirahatlah dalam perhentianKu,” kata Tuhan. “Aku yang menjalankan
dokarmu.”
“Ya, Tuhan.” Aku
merasa sangat lega tidak usah memegang tali kekang itu lagi, tidak usah stress
dengan lubang-lubang besar di jalan itu lagi.
Dan dokar pun
melanjutkan perjalanan. Tuhan yang mengemudi. Aku memejamkan mata, untuk
pertama kalinya merasakan enaknya beristirahat tanpa khawatir. Kami menempuh
perjalanan bersama-sama.
Entah berapa
lamanya dokar itu bergerak dan aku bersandar pada Tuhan dengan mata terpejam,
terbuai sedikit-sedikit, sampai tiba-tiba aku sadar kok dokar ini jalannya
lancar dan tenang ya? Kok aku tidak merasa pernah kejeglong masuk lubang ya?
Aku membuka mata. Jalanan di depan yang terbentang masih tetap penuh lubang,
besar-kecil, di kiri, di kanan, di tengah, tidak beda dengan yang sudah aku
lewati. Tapi sekarang kenapa dokarnya tidak masuk ke lubang-lubang itu?
“Tuhan,”
tanyaku. “Jalannya masih banyak lubang, tapi kenapa dokar ini jalannya lancar?”
Tuhan tersenyum.
“Lihatlah ke
bawah, lihat rodanya,” kata Tuhan.
Aku melihat, dan
astaga, ternyata roda-roda kereta itu tidak menyentuh jalan! Astaga, jadi dokar
ini melayang di atas jalan. Pantas tidak masuk lubang karena rodanya tidak
menyentuh jalan yang berlubang!
“Lho, Tuhan, kok
bisa dokar ini melayang?”
“Tahukah kamu
apa semua lubang itu?” tanya Tuhan.
“Tidak. Apa
mereka?”
“Itulah dosa.”
“Lubang-lubang
itu dosa? Lalu jalannya ini apa, Tuhan?”
“Itulah HukumKu,
ketentuan-ketentuanKu, kehendakKu,” jawab Tuhan. “Dosa telah melubangi HukumKu,
membuat jalan yang seharusnya mulus dan mudah, menjadi sukar dilewati.”
“Dan bagaimana
sekarang dokar ini bisa melayang di atas jalan itu?” tanyaku masih bingung.
“Karena Aku
sudah mengalahkan dosa,” kata Tuhan. “Aku sudah mengatasi dosa. Dosa tidak
berkuasa atasKu. Aku tetap lewat di jalan kebenaranKu, di jalan HukumKu, Aku
tidak lewat jalan yang lain yang bukan jalan HukumKu, tetapi lubang-lubang itu
tidak mempengaruhi Aku.”
“Bagaimana aku
bisa membawa dokar ini seperti Tuhan, juga tidak menyentuh jalan yang berlubang
ini?” tanyaku.
“Hanya bila kamu
membiarkan Aku yang mengemudikan dokarmu,” jawab Tuhan sambil tersenyum.
“Jadi aku
sendiri tidak bisa, Tuhan?” tanyaku.
“Tanpa Aku kamu
tidak bisa mengalahkan dosa. Kamu harus mengizinkan Aku hidup dalam dirimu.
Dengan demikian bukan kamu lagi yang hidup, tapi Aku yang hidup dalammu, dan
Aku yang mengalahkan dosa bagimu.”
“Oh? Bagaimana
Tuhan bisa hidup dalam aku?”
“Jika kamu mengasihi
Aku karena kamu sadar bahwa Aku sudah lebih dulu mengasihi kamu, jika kamu mengasihi Aku bukan karena kamu ingin mendapatkan sesuatu
dariKu, tapi kamu mengasihi Aku sebagai respons kasihKu kepadamu,
jika kamu berserah kepadaKu dan masuk dalam perhentianKu, maka kamu mengizinkan
Aku hidup dalam dirimu.”
Aku berpikir.
“Mengapa tidak
dari awal Tuhan memberitahuku ini?” tanyaku.
“Karena
sebelumnya kamu belum siap. Kamu mengira kamu bisa sendiri. Sebelum kamu
menyadari bahwa kamu tidak bisa apa-apa tanpa Aku, kamu tidak akan mengerti.”
“Begitu banyak
tahun terbuang percuma,” kataku.
“Bukan percuma,”
kata Tuhan. “Itu diperlukan untuk mematangkan pemahamanmu.”
Maka kami pun
melanjutkan perjalanan bersama, menempuh sisa jalan ini yang penuh lubang
hingga ke ujungnya, Tuhanku dan aku, berdua, Dia yang memegang tali kekang, aku
yang beristirahat dalam perhentianNya. Dan itulah perjalanan yang paling damai
yang pernah aku alami dalam hidup ini.
Mengapa kita
ikut Tuhan?
Aku menggali ke
ingatanku yang lama. Apa yang membuat aku pertama mau ikut Tuhan puluhan tahun
yang lalu? Dan jawaban yang aku dapat ialah:
1. Aku mau selamat.
2.
Aku
mau ke Surga.
3. Aku tidak mau ke
neraka.
Jadi itu 3
alasanku.
Itu alasan-alasan
yang bagus, bukan? Tentunya banyak dari kita yang mau selamat, mau ke Surga dan
jelas tidak mau ke neraka.
Tapi suatu hari
aku sadar. Ternyata alasan-alasanku itu kok semuanya pamrih!
Semuanya untuk kepentinganku dan keuntunganku sendiri.
Aku mau selamat, aku mau ke Surga, aku
tidak mau ke neraka. Fokusnya di apa yang aku mau. Bukannya itu egois? Lalu di
mana kaitannya denganTuhan?
Aku merasa ada
yang salah ini, tapi aku tidak tahu yang betul itu apa.
Bertahun-tahun
lewat.
Dan banyak peristiwa
yang terjadi dalam hidupku.
Dan lewat
peristiwa-peristiwa itu Tuhan mengajar aku, tentang DiriNya, tentang rencana
keselamatan, tentang kasihNya, tentang kebenaranNya, tentang manusia, tentang
diriku. Dengan sangat sabar Tuhan mengajar aku, lewat Roh Kudus, lewat Alkitab,
lewat Roh Nubuat, lewat guru-guru agama yang alkitabiah, dan lewat
pengalaman-pengalaman hidupku.
Sedikit demi
sedikit aku lebih mengerti bahwa Tuhan sangat mengasihi aku. Dia rela mati
bagiku, Dia menjalani hukuman yang seharusnya aku jalani, Dia mengalahkan dosa
bagiku supaya aku boleh hidup aman dalam DiriNya.
Motivasiku ikut
Tuhan tidak boleh pamrih, tidak boleh karena aku ingin selamat, dan aku ingin
ke Surga dan aku tidak mau ke neraka.
Motivasiku
ikut Tuhan haruslah karena aku mengasihi Tuhan karena aku menyadari bahwa Dia
sudah mengasihi aku lebih dulu. Jadi motivasiku itu haruslah responsku pada
kasihNya. Soal surga, soal
selamat itu semua sekunder. Kalau aku selamat, aku ke Surga, tapi aku tidak
mengasihi Tuhanku, itu semua tidak ada artinya. Itu mustahil. Tapi kalau aku
mengasihi Tuhanku, di mana pun Dia membawaku itu Surga bagiku, dan kalau Dia
bersamaku, pasti aku selamat.
Kalau kita
mengasihi Tuhan, sudah pasti kita melakukan apa yang menyenangkan hati Tuhan.
Sudah pasti kita tidak akan berbuat yang tidak berkenan pada Tuhan. Sudah pasti
kita mau patuh pada Perintah-perintah Tuhan. Sudah pasti kita menjauhi segala
kejahatan. Tapi kita melakukannya karena kita mengasihi Tuhan,
bukan supaya kita selamat atau masuk Surga.
Tidak ada satu
pun perbuatan kita yang bisa membawa kita masuk Surga atau menyelamatkan kita.
Justru kalau kita berbuat baik dengan tujuan bisa selamat dan masuk Surga, kita
akan gagal total.
Efesus
2:8-9
“Karena
oleh kasih karunia kamu diselamatkan melalui iman, dan itu bukan karena usaha kamu, itu adalah pemberian Allah, itu
bukan hasil pekerjaanmu: jangan sampai ada
orang yang memegahkan dirinya.
Tapi perbuatan
baik itu lahir karena Kristus hidup di dalam kita. Kalau Kristus ada di hati
kita, maka Dialah yang membuat kita berbuat baik, Dia yang membuat
kita patuh pada HukumNya, Dia yang membuat kita menjauhi dosa. Jadi
pertama, Kristus harus ada di dalam hati kita dulu. Dan untuk itu, kita perlu
mengasihi Kristus. Kalau kita tidak mengasihi Kristus, kita tidak akan
mengizinkan Dia masuk ke hati kita.
Galatia
2:20
“Aku telah disalibkan bersama Kristus, namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku, melainkan
Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang dalam daging, aku
hidup oleh iman Anak Allah, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan Diri-Nya
untuk aku.”
Akhirnya aku
mengerti.
Maka sekarang
aku duduk di dokarku di samping Tuhanku. Aku dan Dia, berjalan bersama-sama.
Dia mengasihi aku dengan kasih yang tidak bisa diukur, aku belajar mengasihiNya
kembali, belajar untuk menyenangkan hatiNya, belajar untuk tidak membuatNya
kecewa, belajar untuk tidak membuatNya sedih. Aku percaya penuh, berserah
penuh, yakin Dia akan membawaku tiba di tujuan dengan selamat. Aku beristirahat
dalam perhentian Tuhanku, sementara Dia yang menjalankan hidupku.
Amin
27 05 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar