Minggu, 27 Maret 2016

160. MENGAPA TUHAN MEMILIH ABRAHAM

160.  MENGAPA TUHAN MEMILIH ABRAHAM

______________________________________________________________


Nama Abraham sudah tidak asing lagi bagi kita. Di Alkitab sepertinya hanya ada satu tokoh yang bernama Abraham, sehingga tidak ada salah paham. Selama dua Sabat berturut-turut khotbah di gereja adalah tentang Abraham, maka rasanya menarik sekali bila kita bisa menarik pelajaran dari pribadi yang olehnya seluruh bangsa di muka bumi mendapatkan berkat.

 

SIAPAKAH ABRAHAM INI?

MENGAPA DARI SEMUA ORANG DI DUNIA TUHAN MEMILIH ABRAHAM UNTUK MENJADI BERKAT BAGI SELURUH UMAT DI BUMI?

 

 

Aslinya Abraham adalah orang Babilon. Ingat Babilon? Pemujaan berhala sedemikian lekatnya dengan Babilon hingga nama inilah yang dipilih Tuhan untuk melukiskan gereja yang murtad yang melawan dan memusuhi Tuhan di dalam kitab Wahyu.

Nah, aslinya Abraham adalah orang Babilon.

Namanya yang asli adalah Abram sebelum diganti Tuhan menjadi Abraham.

 

Ayahnya bernama Terah dan mereka hidup di Ur Kasdim.

Kemudian suatu hari Terah mau pindah. Alkitab tidak mengatakan mengapa. Mungkin hati Terah tidak cocok dengan pola kehidupan yang ada di Ur Kasdim yang penuh pemujaan berhala. Mungkin dia ingin hidup di tempat lain di mana tidak ada kehidupan paganistik yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Itu salah satu kemungkinan mengapa tiba-tiba pada usia yang sudah tidak muda lagi, Terah memutuskann untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah. Dan yang luar biasa, rencananya mau ke Kanaan, apakah ini suatu kebetulan, atau sesungguhnya Allah yang menggerakkan hati Terah untuk ingin pindah ke Kanaan? Kanaan terletak di luar wilayah Babilon.

 

Maka berangkatlah Terah, bersama sebagian keluarganya, tetapi akhirnya mereka tidak sampai di Kanaan, mereka hanya sampai di Haran dan mereka berhenti. Alkitab juga tidak menjelaskan mengapa akhirnya Terah dan keluarganya berhenti di Haran dan tidak melanjutkan ke Kanaan. Mungkin Terah sudah terlalu tua sehingga merasa tidak sanggup melanjutkan perjalanan lagi, kita tidak tahu. Zaman dulu orang harus berjalan kaki atau hanya bisa naik hewan ke mana-mana, pasti sangat melelahkan. Haran masih terletak di wilayah Babilon. Mungkin Setan membisiki Terah untuk tidak melanjutkan perjalanan dan meninggalkan wilayah Babilon. Tidak ada keterangan yang pasti dari Alkitab. Dan Terah tinggal di Haran sampai dia mati.

 

Kemudian Tuhan memanggil Abraham untuk meninggalkan Haran ke suatu tempat yang belum diberitahukan Tuhan kepadanya. Padahal akhirnya yang dimaksud Tuhan ya tanah Kanaan, tempat yang tadinya dituju Terah, bapaknya.

 

Mengapa dari sekian banyaknya manusia di bumi, Tuhan memilih memanggil Abraham, orang Babilon untuk menjadi nenek moyang Yesus Kristus? Mengapa kok bukan orang lain?

Inilah mengapa:

 

1. ABRAHAM ADALAH ORANG YANG (1) MENGASIHI, (2) PENURUT DAN (3) BERBAKTI

Abraham adalah anak Terah yang paling mengasihi ayahnya.

Di Kejadian 11:26 tertulis

Dan Terah hidup tujuh puluh tahun, dan memperanakkan Abram, Nahor dan Haran.

 

Nama Abram yang disebut pertama, maka asumsinya adalah Abram ini anak sulung Terah.

Tetapi jika kita baca Kejadian 11:27-32, kita mendapat tahu bahwa Haran mati muda, namun pada saat dia mati, dia sudah memiliki anak yang bernama Lot. Sedangkan Abram dan Nahor baru mengambil istri kemudian. Maka logisnya Haran ini lebih tua daripada Abram karena di zaman dulu selalu anak yang lebih tua yang menikah dahulu, baru adiknya boleh menyusul. Tetapi mungkin karena pada waktu kisah ini dimulai Haran sudah mati, maka namanya sebagai anak Terah disebutkan terakhir.

Nah, Alkitab tidak menceritakan mengapa Terah memutuskan untuk meninggalkan Ur Kasdim, tetapi itu yang dilakukannya. Dan ketika Terah meninggalkan Ur Kasdim, hanya satu anaknya, yaitu Abram yang ikut, sedangkan anaknya yang satu lagi yang bernama Nahor, tidak ikut. Mengapa?

Alkitab tidak menjelaskan secara spesifik, tetapi tentunya kita bisa mengambil kesimpulan sendiri. Terah bermaksud meninggalkan Ur Kasdim untuk selama-lamanya. Ketika dia berangkat dari Ur Kasdim dia sama sekali tidak punya niatan untuk kembali lagi ke sana. Mestinya sebagai seorang ayah, dia rindu seluruh keluarganya ikut bersamanya. Sebagai seorang ayah tentunya dia berharap anak-anaknya semua ada di dekatnya pada hari tuanya dan kelak dia boleh tutup mata ditunggui mereka, apalagi anak laki-lakinya sisa cuma dua: Abraham dan Nahor. Tetapi Nahor dan keluarganya tidak ikut pergi bersama Terah.

 

Pastilah di zaman itu pindah bukanlah hal yang nyaman. Tidak ada kereta api atau pesawat terbang atau bahkan bus dan kapal. Tidak ada perusahaan packing yang membantu kemas-kemas dan mengangkatkan barang-barang. Yang ada hanyalah hewan pengangkut dan perjalanan yang panjang dan melelahkan berhari-hari, berminggu-minggu di bawah sengatan terik matahari (karena ini Timur Tengah, bukan Eropa yang beriklim dingin). Tidak heran Nahor dan keluarganya tidak mau ikut. Untuk apa? Di Ur Kasdim tentunya Terah dan keluarganya sudah punya rumah yang permanen, punya tempat tinggal yang nyaman. Mengapa harus meninggalkan semua itu untuk pergi ke tempat yang asing dan memulai lagi semuanya dari awal?

Tetapi Abram membawa istrinya Sarai ikut ayahnya pindah.

Hal ini mengatakan apa kepada kita?

 

Abram mengasihi ayahnya. Dia juga seorang yang patuh kepada ayahnya. Dan dia juga merasa punya tanggung jawab untuk menjaga keselamatan ayahnya yang sudah tua selama menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dari Ur ke Kanaan (sewaktu mereka berangkat tujuannya kan Kanaan, tidak ada niatan hanya sampai Haran).  Dia juga mau memastikan bahwa pada saat ayahnya menutup mata nanti, dia ada di sana mendampingi ayahnya, dan dia yang akan menguburkan ayahnya. Abram mengesampingkan kepentingannya dan kenyamanannya sendiri, dan lebih mendahulukan kepentingan ayahnya. Abraham secara naluri mematuhi perintah Allah yang kelima: Hormatilah bapakmu dan ibumu. Abram mengasihi ayahnya bukan hanya dengan mulut, melainkan dengan perbuatan. Ayahnya mau pindah, Abram menurut. Abram tidak membantah ayahnya, tidak berkata, “Pindahlah sendiri, aku tetap di Ur saja”, tetapi sebagai anak yang berbakti, dia menggantikan kedudukan anak sulung yang sudah meninggal, dan dia memikul tanggung jawab mengamankan perjalanan ayahnya. Dengan kata lain, ABRAM INI BUKANLAH ORANG YANG EGOIS.

 

Bagaimana dengan kita? Jika orangtua kita sudah tua dan sakit, apakah kita mau mengorbankan kepentingan kita untuk mendahulukan kepentingan mereka? Apakah kita akan mengantarkan mereka berobat dan mendampingi mereka di saat-saat mereka membutuhkan dukungan moral?  Atau kita hanya menyerahkan urusannya kepada suster atau sopir, atau bahkan sama sekali tidak mau tahu? Itu orangtua kita, bukan orangtua suster atau sopir, tentunya mereka akan merasa lebih nyaman bila anak yang mereka sayangi, darah dagingnya sendiri, yang menyandang nama mereka, yang mendampingi mereka.

Terah beruntung punya anak seperti Abram.

 

 

2. ABRAM TIDAK PAMRIH

Setelah Terah mati, Tuhan memanggil Abram untuk meninggalkan Haran dan pergi ke tempat yang tidak diberitahukanNya. Tuhan hanya berkata, “Berangkat saja, nanti akan Kutunjukkan ke mana kamu harus pergi.” Tuhan tidak berkata, “Aku mau kamu ke Kanaan, tempat yang awalnya dituju oleh Terah ayahmu.”

Alkitab tidak pernah menjelaskan apakah sebelumnya Tuhan pernah bercakap-cakap dengan Abram. Sekarang tiba-tiba ada perintah dari Tuhan yang menyuruh Abram meninggalkan tempat tinggalnya. Pergi ke mana tidak tahu. Siapa ini yang menyuruhnya pergi juga tidak jelas bagi Abram, tapi dia menurut (karena Abram adalah orang yang penurut). Pada usia yang untuk ukuran masa itu pun tidak bisa digolongkan muda ~ Abram berusia 75 ketika Tuhan menyuruhnya pergi ~ dia mengemasi miliknya, membongkar tendanya, membawa istrinya dan kemenakannya Lot, dan dia pergi meninggalkan Haran.

 

Hanya karena apa? Hanya karena dia percaya bahwa Yang menyuruhnya pergi itu besar kuasaNya dan baik maksudNya.

Kita mungkin berkata, “Lha iya, kan Tuhan berjanji akan menjadikan Abram bangsa yang besar, yang namanya mashur, yang menjadi berkat bagi orang lain, dan semua orang di bumi akan diberkati karena Abram. Makanya Abram menurut disuruh pergi.”

 

Jangan lupa, Abram pada waktu itu sudah berusia 75 tahun, istrinya yang lebih muda 10 tahun juga sudah lewat waktu beranak, pada waktu itu mereka tidak punya anak, jadi bagaimana dia bisa menjadi bangsa yang besar? Lha wong anak satu saja tidak punya, mana mungkin menjadi bangsa yang besar? Tapi Abram tidak menjawab, “Ah nggedabrus! Omong kosong. Emang aku tolol?” Abram disuruh meninggalkan Haran, Abram menurut, tanpa pamrih.

Ini memberitahu apa kepada kita?

 

ABRAM BUKAN ORANG YANG PAMRIH! Abram tidak berpikir apa betul nanti dia akan menjadi bangsa yang besar atau tidak (karena menurut logika itu tidak mungkin), Abram menurut saja disuruh berangkat. Jadi kepatuhan Abram kepada Tuhan bukan karena berkat-berkat yang Tuhan janjikan. Abram mengimani saja bahwa Yang menyuruhnya pergi itu Sosok yang baik. Dengan kata lain Abram punya iman.

Apa itu iman?  Kata Paulus,

Ibrani 11:1

Nah, iman adalah substansi (wujud) dari hal-hal yang diharapkan, alasan untuk mempercayai hal-hal yang tidak dilihat.

Jadi dengan kata lain, iman itu percaya kepada apa yang belum pernah kita lihat, yang belum terbukti ada, dan substansi dari apa yang kita harapkan.

 

Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki iman seperti iman Abram? Iman Abram itu “percaya buta” namanya. Tanpa dipikir, tanpa mempertimbangkan untung-ruginya, tapi semata-mata “percaya buta” kepada Tuhan, dan dia lakukan apa yang disuruh Tuhan.

 

Perhatikan di sini, apa buktinya Abram beriman kepada Tuhan?

Ibrani 11:8

Karena iman, Abraham ketika ia dipanggil untuk berangkat ke tempat yang kemudian akan diterimanya sebagai milik pusakanya, (1) patuh; dan ia (2) berangkat tanpa mengetahui ke mana ia pergi.

 

Perhatikan kalimat pertama, “Karena iman, Abraham…(1) patuh; dan ia (2) berangkat…” jadi Abram membuktikan bahwa dia punya iman dengan apa?

a.   dengan patuh – ini berdasarkan iman,

b.   lalu ia berangkat – ini perbuatan yang membuktikan imannya.

 

Jadi IMAN ITU HARUS DISERTAI apa? HARUS DISERTAI KETAATAN DAN PERBUATAN.

Maka, Abram membuktikan imannya dengan:

(1)  patuh = artinya menurut, taat, tidak membantah, tidak mendebat, tidak melawan.

(2)  berangkat = mewujudkan kepatuhannya, dia membuktikan bahwa dia sungguh-sungguh melakukan apa yang disuruh. Bukan cuma “omdo” kata orang sekarang, “omong doang” tapi tidak berbuat apa-apa.

 

 

Jadi bagaimana seharusnya kita membuktikan bahwa kita punya iman pada Tuhan?

ü  Dengan patuh kepada perintahNya,

tidak pakai membantah, tidak pakai menawar, tidak pakai mengeluh, tidak pakai mengajukan segala macam keberatan, tidak pakai menggantinya sedikit-sedikit, tidak pakai bersungut-sungut.

ü  Lalu, kita lakukan,

kita laksanakan apa yang Tuhan suruh kita laksanakan, atau dengan menghindari apa yang dilarang Tuhan supaya tidak kita lakukan.

 

Banyak orang Kristen mengatakan bahwa mulai zaman Perjanjian Baru umat Tuhan sudah tidak usah mematuhi Hukum Tuhan lagi, cukup hanya punya iman sudah selamat. Beda dengan zaman Perjanjian Lama di mana orang harus patuh kepada Hukum baru selamat.

 

Salah!

 

Dari awal, sejak Adam berdosa, tidak ada manusia yang selamat karena mematuhi Hukum. Semua manusia itu selamat karena beriman bahwa kasih karunia Tuhan lah yang menyelamatkan mereka.

Lalu mengapa mereka patuh kepada Hukum?

Patuh pada Hukum adalah bukti bahwa mereka memiliki iman tersebut.

Dan konsep ini tidak berubah sampai sekarang, sampai nanti akhir zaman.

Semua manusia hanya bisa selamat karena beriman dalam kasih karunia Tuhan yang menyelamatkan mereka. Dan untuk membuktikan bahwa mereka memang memiliki iman itu, mereka patuh kepada Hukum Tuhan.

Tidak ada yang berubah.

 

Lihat saja apa kata Alkitab tentang kisah Abram ini.

Mana yang terjadi lebih dahulu? Iman atau kepatuhannya?

Iman.

Abram beriman kepada Yang menyuruhnya meninggalkan tempat tinggalnya.

Karena dia beriman kepada Yang menyuruhnya, dia memutuskan untuk patuh, dan dia mewujudkan kepatuhannya dengan meninggalkan tempat tinggalnya itu.

Jadi SEBELUM ADA KEPATUHAN, LEBIH DAHULU HARUS ADA IMAN, maka dikatakan

“Karena iman, Abraham…(1) patuh; dan ia (2) berangkat…” (Ibr. 11:8).

 

Berarti,

KEPATUHAN ADALAH BUKTI IMAN,

DAN PERBUATAN ADALAH BUAH IMAN.

 

Ini konsep yang universal, yang setiap hari kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

 

Contoh: Seorang ibu rumah tangga mendapat resep kue. Dia membaca resep itu, dan dia percaya bahwa resep itu bagus, (ini iman).  Karena dia percaya, maka dia mematuhi resep itu 100%, dan mengikuti resep itu 100%, membuat kuenya. Jika dia tidak percaya pada resep itu atau pada orang yang memberinya resep itu, dia tidak akan membuat kue mengikuti resep tersebut 100%, dia akan memodifikasi resep itu sesuai pikirannya sendiri, atau dia tidak akan memakai resep itu sama sekali. Jadi penyebab si ibu mau membuat kue 100% berdasarkan resep itu ialah karena dia percaya pada resep itu. Maka kepatuhan ibu ini kepada resep itu adalah karena dia percaya resep itu bagus, dan kemudian dia mewujudkannya dengan membuat kuenya mengikuti resep itu.

Semuanya begitu. Kita menuruti sesuatu karena kita sudah percaya dulu bahwa itu baik.

 

Maka Abram percaya atau beriman kepada Yang memberinya perintah, dan sebagai bukti imannya, dia melakukan apa yang disuruh.

Bagaimana dengan kita?

Kita berkata kita beriman, tapi kita mencari segala alasan untuk melepaskan diri dari kepatuhan kepada Tuhan. Tragis.

Kita lupa,

JIKA KITA TIDAK PATUH,

ITU BUKTINYA KITA TIDAK PUNYA IMAN

 

Dan JIKA KITA TIDAK PUNYA IMAN,

KITA TIDAK BISA SELAMAT

 

 

karena Alkitab berkata, “Karena oleh kasih karunia kamu diselamatkan melalui iman, dan itu bukan karena kamu, itu adalah pemberian Allah.” [Efesus 2:8]

Jadi renungkan dalam-dalam kenyataan ini.

 

 

Bagaimana Abram yang kemudian namanya diganti Tuhan menjadi Abraham membuktikan lagi bahwa dia punya iman dengan mematuhi dan melakukan perintah Tuhan?

Kita semuanya tentu ingat kisah penyembelihan nyaris atas Ishak, anak perjanjian yang diperoleh Abraham ketika dia berusia 100 tahun? Jika lupa silakan membaca Kejadian pasal 21 dan 22. Singkat cerita, walaupun Ishak itu anak perjanjian, walaupun Ishak itu sangat dia kasihi karena dia mendapatkannya setelah berusia 100 tahun, tetapi ketika Tuhan berkata,

Kejadian 22:2

Ambillah anakmu yang tidak ada duanya [unik] itu yang engkau kasihi, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran  pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”  

 

Abraham tidak marah-marah kepada Tuhan, Abraham tidak menggugat janji Tuhan akan menjadikan dia bangsa yang besar, Abraham tidak minta penjelasan Tuhan, Abraham tidak melawan Tuhan, Abraham tidak mencoba benegosiasi dengan Tuhan, tetapi dengan hati yang patuh dia tetap menundukkan kepalanya, taat kepada perintah Tuhan, walaupun dia tidak mengerti mengapa Tuhan meminta anaknya, dan dia mewujudkan kepatuhannya itu dengan benar-benar membawa Ishak ke bukit Moria untuk mempersembahkan dia sebagai korban bakaran. Dan Abraham tidak setengah hati melakukan perintah Tuhan. Abraham betul-betul berniat melakukan apa yang diperintahkan Tuhan. Abraham tidak pura-pura lupa membawa pisaunya, atau lupa membawa kayunya, atau lupa membawa talinya. Ketika tiba di bukit Moria, Abraham tidak berteriak kepada Tuhan, tidak protes, tidak memohon Tuhan untuk membatalkan perintah itu, tetapi kata Alkitab, dengan setia, dia “…mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.” [Kejadian 22:10]. Tuhan memperoleh bukti bagaimana iman Abraham ketika Abraham benar-benar sudah memegang pisau dan benar-benar akan menyembelih anaknya.

 

Bagaimana dengan kita? Tuhan belum pernah minta kita menyembelih salah satu dari anak-anak kita. Tuhan baru minta kita mematuhi segala PerintahNya saja ~ yang semuanya adalah demi kebaikan kita ~ supaya kita aman, supaya kita sehat, supaya kita tidak tersesat ~  kita sudah memberontak dan mencari segala alasan untuk meloloskan diri.

 

 

3.ABRAM MEMILIKI SIFAT SEPERTI KRISTUS

Tuhan tidak salah pilih.

Abraham memang manusia, dan manusia punya kelemahan dan kebanyakan kelemahan Abraham berkaitan dengan perempuan. Sebagaimana Adam yang memilih lebih mendengarkan kata-kata istrinya ketimbang mematuhi perintah Tuhan, demikian juga Abraham, yang terkadang lebih mendengar kata-kata istrinya ketimbang kata-kata Tuhan. Banyak tokoh terkenal yang jatuh karena perempuan yang berpengaruh dalam hidup mereka, karena mereka sering menempatkan perempuan-perempuan ini lebih tinggi daripada Tuhan. Maka biarlah kelemahan Adam dan Abraham itu menjadi peringatan bagi kita, supaya jangan kita tiru, jangan kita membiarkan pasangan hidup kita justru membuat kita berbuat dosa, seberapa pun kita mencintainya.

Tetapi, marilah kita lihat seberapa dekat sifat-sifat Abraham kepada sifat-sifat Kristus.

 

APA SIFAT KRISTUS?

1.   Mematuhi perintah Tuhan

Yohanes 4:34

Kata Yesus kepada mereka: ‘Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.’

 

2.   Beribadah kepada Tuhan.  

Markus dan Lukas mencatat bahwa setiap Sabat Yesus pergi ke rumah ibadat. (Markus 1:21, 6:1-2; Lukas 6:6, 4:16, 4:31, 13:10)

 

3.   Rendah hati

Filipi 2:5-8

Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraanNya dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

 

4.   Memohon rahmat Tuhan bagi orang lain 

Tak terhitung seringnya selama pelayanannya yang 3.5 tahun itu Yesus memohonkan rahmat Tuhan bagi orang lain, dengan memberikan kesembuhan, dengan membangkitkan orang mati, dengan memberi makan ribuan orang.

 

5.   Berkorban untuk orang lain 

Dari lahirnya ke dunia ini Yesus sudah berkorban. Dia yang Allah di Surga mau turun ke dunia, lahir sebagai manusia yang melarat, untuk mengajarkan kebenaran kepada manusia, dan untuk menyelamatkan manusia dengan kematiannya di atas salib. Lihat Filipi 2:5-8 di atas.

 

6.   Tidak mata duitan   

Matius 8:20

Yesus berkata kepadanya, ‘Rubah punya liang dan burung yang terbang punya sarang, tetapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk membaringkan kepala-Nya.’

Allah yang kaya raya, yang memiliki seluruh alam semesta, tapi ketika Dia hidup sebagai manusia, bahkan bantal pun Dia tidak punya.

 

BAGAIMANA DENGAN ABRAHAM?

1.   Apakah Abraham mematuhi perintah Tuhan?

Kita sudah melihat di atas bagaimana Abraham mematuhi perintah Tuhan sebagai bukti imannya. Disuruh Tuhan berangkat, dia berangkat. Disuruh Tuhan mengurbankan Ishak anaknya, dia lakukan.

Kita lihat juga bagaimana Abraham melakukan ketentuan Tuhan untuk mengembalikan persepuluhan kepada Tuhan, melalui imamNya Melkisedek, raja Salem (Kejadian 14:18-20). Kepatuhannya kepada Tuhan adalah bukti dari imannya.

 

2.   Apakah Abraham beribadah kepada Tuhan?

Ya. Kalau kita baca kisah Abraham, ke mana pun Abraham pergi, di sana dia mendirikan mezbah. Di zaman Abraham tidak ada Kaabah, tidak ada Bait Suci, maka Abraham mendirikan mezbah untuk beribadah kepada Tuhan. (Kejadian 12:7, 13:18, 22:9).

 

3.   Apakah Abraham rendah hati?

Silakan baca kisahnya di Kejadian pasal 13, bagaimana Abraham yang adalah paman Lot, justru memberikan Lot kesempatan untuk menentukan pilihannya dulu. Kalau menurut tradisi dunia, pastilah seorang paman akan merasa lebih berhak memilih lebih dulu. Apalagi Lot menjadi kaya itu karena dia ikut Abraham, karena Lot ayahnya sudah lebih dulu mati, jadi harta Lot sebenarnya berasal dari Abraham, tapi justru Abraham yang menghormati Lot.

 

4.   Apakah Abraham memohonkan rahmat bagi orang lain?

Abraham bukan hanya memohonkan rahmat saja untuk orang lain, tetapi turun tangan mengerahkan anak buahnya sendiri untuk menyelamatkan Lot ketika Lot ditawan raja Kedorlaomer dkk. Bukan saja Lot yang diselamatkan, tetapi juga raja Sodom dan semua yang dirampas Kedorlaomer dari mereka (Kejadian 14:1-17). Abraham ringan tangan menolong orang lain.

Ingat bagaimana Abraham memberanikan dirinya tawar-menawar dengan Tuhan demi kepentingan warga Sodom dan Gomora yang akan dihancurkan Tuhan? Kalau lupa, silakan membacanya di Kejadian 18:16-33.

 

5.   Apakah Abraham berkorban untuk orang lain?

Di awal-awal tadi kita sudah melihat bagaimana dia berkorban untuk ayahnya, meninggalkan kenikmatan rumahnya yang permanen di Ur Kasdim untuk menemani ayahnya berangkat menuju ke Kanaan, tetapi akhirnya mereka hanya sampai di Haran.

Dia juga berkorban perasaan ketika istrinya Sara menyuruh dia mengusir Hagar dan anaknya Ismael. Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkan perasaan Abraham dengan kata “menyebalkan” tetapi kata Ibraninya adalah רעע    [râ‛a‛] yang lebih tepat diterjemahkan “menyedihkan” atau “berat hati”. Ayah mana yang tidak merasa sedih harus mengusir anak kandungnya bersama ibunya. Tetapi Tuhan membenarkan permintaan Sara, dan Abraham seperti biasanya, dia selalu tunduk kepada kehendak Tuhan, rela melepas Ismael dan Hagar walaupun dengan berat hati. Dia tahu, itu perpisahan untuk selama-lamanya, selama hidupnya dia tidak akan bertemu lagi dengan mereka. Pengorbanan seorang ayah yang sangat berat. Baca Kejadian 21:9-14.


6.   Abraham juga tidak mata duitan, tidak serakah.

Ketika dia berhasil membebaskan raja Sodom dari raja Kedorlaomer, maka seperti biasanya pemenang perang berhak atas pampasannya, tetapi Abraham menolak pemberian raja Sodom. Abraham tidak serakah. Memang betul dia kaya, tapi tidak kurang orang kaya juga tetap mau menerima pemberian, apalagi menurut peraturan waktu itu, pampasan perang memang hak pihak yang menang. Tetapi Abraham tidak serakah, tidak mata duitan. Abraham tidak mau nanti ada yang bilang dia kaya karena menerima pemberian raja Sodom. Abraham mau orang tahu bahwa kekayaannya semua berasal dari Tuhan. (Kejadian 14:22-23)

 

Maka Tuhan telah memilih orang yang tepat untuk menjadi cikal-bakal nenek moyang yang akan menurunkan seorang Juruselamat bagi seluruh dunia. Tuhan berkata,

 

Kejadian:

12:2         Dan Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan Aku akan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.

12:3         Dan Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau; dan dalammu semua kaum di muka bumi akan diberkati.’

 

Abraham adalah orang Babilon, tempat pusat penyembahan berhala. Tetapi Tuhan memanggilnya keluar dari Babilon, untuk:

dijadikan bangsa yang besar

ü  diberkati

ü  dibuat masyhur namanya

ü  dijadikan berkat

ü  dan melalui Abraham semua orang di muka bumi akan mendapat berkat.

 

Abraham pada dasarnya memiliki sifat-sifat yang baik, budi yang luhur, dan setelah dia beriman kepada Tuhan, dia menjadi semakin baik, semakin luhur, semakin sempurna.

 

 

Jika kita membayangkan Abraham, kita membayangkannya sudah tua, berjanggut putih, berusia di atas 80 tahun. Jadi kita beranggapan ya pantaslah dia seorang “patriakat” seorang bapak bangsa.

Tapi Abraham tidak selamanya seorang kakek-kakek, Abraham pernah muda. Abraham pernah remaja. Abraham pernah berusia 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun. Dia pernah mengalami emosi dan godaan usia remaja, usia dewasa, bahkan usia puber kedua. Ketika dia mengikuti ayahnya Terah meninggalkan Ur Kasdim, Abraham saat itu justru sedang gagah-gagahnya lelaki. Tetapi Abraham tetap tunduk dan berbakti kepada ayahnya. Ketika ayahnya memutuskan pindah, Abraham tidak berkata, “Wah, Papa sudah ketinggalan zaman, Papa ngerti apa, sudah tidak usah macam-macam, baik-baik saja tinggal di rumah dan biar kami yang muda-muda yang menangani segala urusan.” Tidak. Abraham menghormati orangtuanya.

 

Jadi, dari melihat kehidupan Abraham ini, kita harus semakin mengerti:

IMAN DAN KETAATAN DAN PERBUATAN

ITU BERKAITAN SATU SAMA LAIN.

 

 

Yakobus berkata,

2:17         Demikian juga halnya iman sendirian, jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu mati.

2:20         Hai manusia yang bebal, maukah engkau tahu sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan itu mati?

2:21         Bukankah Abraham, bapak kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya  ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?

2:22         Apakah kamu lihat, bahwa imannya bekerjasama dengan perbuatan-perbuatannya? dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.

2:23         Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: ‘Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran’ dan Abraham disebut ‘teman Allah.’

 

Bukti bahwa kita memiliki iman yang hidup adalah bila kita taat kepada segala perintah dan kehendak Tuhan. Dan bukti bahwa kita taat adalah bila kita melakukan segala perintah dan kehendak Tuhan.

 

Jadi jangan dikecoh oleh tipu daya Setan yang mengatakan asal ada iman sudah cukup. Iman itu membuat kita bisa menerima kasih karunia Tuhan.

Tapi iman yang bagaimana yang bisa menerima kasih karunia Tuhan?

Iman yang hidup.

Iman yang hidup itu bagaimana?

Iman yang dibuktikan dengan kepatuhan atau ketaatan kepada semua perintah dan kehendak Tuhan.

Dan kepatuhan atau ketaatan itu harus ada wujudnya, bukan cuma kata-kata kosong. Wujudnya adalah perbuatan kita.

 

 

Ibrani

13:20       Maka Allah damai sejahtera, telah membawa kembali dari antara orang mati, Tuhan Yesus, Gembala domba yang Agung, melalui darah Perjanjian yang kekal

13:21       menjadikan kamu sempurna dalam setiap perbuatan baik untuk melakukan kehendak-Nya, mengerjakan di dalam kamu apa yang berkenan di pemandanganNya, melalui Yesus Kristus; bagi Dialah kemuliaan untuk selama-lamanya! Amin.

 

 

 

27 03 16

 



1 komentar: