223. MENGAPA SEMUA UNTUK KEMULIAAN ALLAH?
________________________________________________________________________________________________________
Dulu kalau aku
bertanya, mengapa Tuhan menciptakan manusia? Jawaban yang aku dapat ialah
“untuk kemuliaan Tuhan”, dan itu bukan jawaban yang salah, karena sudah sesuai
ayat Alkitab.
Yesaya
43:6-7
Aku akan berkata kepada utara: Serahkanlah!
dan kepada selatan: Janganlah tahan-tahan! Bawalah anak-anak-Ku laki-laki dari
jauh, dan anak-anak-Ku perempuan dari ujung-ujung bumi, yaitu setiap orang yang disebutkan dengan nama-Ku: karena Aku telah menciptakan dia untuk kemuliaan-Ku, Aku telah
membentuknya, iya, Aku yang telah menjadikannya.
I will say to the north,
Give up; and to the south, Keep not back: bring My sons from far, and My
daughters from the ends of the earth;
Even every one that is
called by My name: for I have created him for My glory,
I have formed him; yea, I have made him. (KJV)
Tapi aku tidak puas.
Kok Tuhan egois? Maklum pikiran dan pengetahuan rohaniku masih
cetek waktu itu, jadi tidak bisa menangkap dalamnya arti kata-kata “untuk
kemuliaan Allah”.
Aku berpikir,
oh, jadi Tuhan menciptakan manusia untuk kemuliaanNya, apakah itu juga alasan mengapa manusia punya anak? Jadi berdasarkan egoisme?
Apakah manusia alasannya
juga untuk “kemuliaan si ayah-ibu”? Padahal repotnya banyak, tanggung jawabnya
besar, dan belum tentu si anak menjadi kemuliaan orangtuanya, bisa-bisa malah
menjadi aib orangtuanya. Menjadi pusing dan kerepotannya pasti, tapi menjadi
kemuliaannya adalah taruhan.
Lihat saja
Tuhan, pada akhirnya lebih banyak mana manusia yang menjadi kemuliaan Allah
daripada yang menyusahkan Allah?
Jadi, kalau
sudah melihat contoh yang dialami Tuhan, mengapa manusia nyaris semua yang
menikah masih mau punya anak? Tidak yang kaya tidak yang miskin, tidak yang
sehat tidak yang berpenyakit, tidak yang pintar tidak yang bodo, tidak yang
berpendidikan tidak yang buta huruf, tidak orang kota tidak orang desa, semua
mau punya anak dan berupaya apa saja untuk punya anak karena sepertinya ada
konsep bahwa manusia itu tidak lengkap kalau kawin tidak punya anak.
Maka aku ingin
tahu konsep apa ini “untuk kemuliaan Allah”?
1 Korintus 10:31
Oleh karena itu, jika engkau makan atau jika engkau minum, atau apa pun yang engkau lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
Mengapa kok
semua-semua “untuk kemuliaan Allah”? Dari makan-minum sampai “apa pun yang
engkau lakukan” (berarti tidak ada
perkecualiaannya!) itu harus untuk kemuliaan Allah! Ini ayat
Alkitab loh yang berkata begini, berarti ini perintah dari Allah.
Secara harafiah
apakah ini tidak meletakkan Allah pada posisi yang tidak enak, seakan-akan Allah seorang raja lalim yang selalu menuntut dimuliakan?
Tidakkah begitu kesannya? Mungkin karena kalimat-kalimat seperti
ini, maka banyak orang yang memilih menjadi atheis.
Bayangkan jika
orangtua kita berkata kepada kita, “Kamu dilahirkan untuk kemuliaan orangtuamu,
jadi segala yang kamu lakukan harus untuk kemuliaan kami!” Apakah itu tidak
melahirkan bermacam-macam jawaban dari kita yang bersifat memberontak? “Memang
siapa yang minta dilahirkan? Aku tidak pernah ditanya apakah aku setuju
dilahirkan untuk memuaskan kemuliaanmu. Daripada aku terbebani begini, mending
tidak usah dilahirkan saja.” Apa kita tidak akan menjawab begitu?
Jadi aku
berpikir, pasti ada yang salah dengan konsep ini, ada pengertian
yang tidak tepat di sini. Bukankah Allah itu kasih?
Bukankah Allah itu baik?
Mazmur 107:1
Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya kemurahanNya kekal untuk selama-lamanya.
Mazmur 145:9
TUHAN itu baik kepada semua, dan kemurahanNya yang lemah
lembut bagi segala yang dijadikan-Nya.
Yakobus 1:17
Setiap pemberian yang baik
dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; yang pada-Nya
tidak ada perubahan maupun bayangan dari pertukaran.
1 Yohanes 4:8
Dia yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.
Dan masih banyak
ayat yang lain yang mengatakan betapa baiknya Allah itu, betapa mengasihinya
Dia.
Jadi bagaimana kita harus memahami “segala untuk kemuliaan Allah” ini dalam konteks
Allah itu baik, Allah itu kasih, Allah itu pemurah?
Lalu aku teringat,
kapan aku merasa paling senang, paling bahagia bersama orangtuaku? Ternyata itu
bukan saat aku melakukan semua kehendakku, saat aku nakal melawan mereka, saat aku
melakukan semua keinginanku sendiri, saat aku menuntut ini-itu, saat aku
bertingkah macam-macam. Tidak. Aku ingat, ternyata justru pada waktu
aku sedang menurut, ketika aku sedang tidak nakal, ketika aku mematuhi semua kehendak
orangtuaku, saat itulah aku merasa paling bahagia. Mengapa? Karena pada saat itu hubunganku dengan mereka paling dekat, pada
saat itu aku merasa paling disayang. Tidak ada konflik dengan orangtua. Tidak
ada masalah. Tidak ada kekecewaan mereka yang menjadi dinding yang memisahkan.
Tidak ada rasa bersalah di pihakku yang menjadi pagar yang menghalangi.
Perlawanan selalu menimbulkan
ketegangan. Perbedaan kemauan menimbulkan kesenjangan, ketidakharmonisan, rasa
tidak serasi, dan akhirnya rasa takut. Pihak orangtua takut anaknya tetap akan
melanggar, sedangkan pihak anak takut orangtuanya akan mengambil tindakan yang
bersifat menghukum. Maka dari rasa takut akan muncul rasa tidak nyaman dan
hubungan pun merenggang. Bahkan kalau parah bisa sampai putus.
Kalau aku ingat-ingat sekarang, itulah yang aku rasakan setiap kali aku melakukan sesuatu yang tidak untuk “kemuliaan” orangtuaku. Walaupun terkadang orangtuaku yang akhirnya mengalah dan membiarkan aku yang menang, tapi rasa kesenjangan itu terlanjur ada, dan hubungan merenggang untuk sementara waktu. Saat-saat itu memang aku sudah menang, kehendakku yang dituruti, tapi hatiku tidak senang. Aku merasa jauh lebih senang pada waktu aku yang menuruti orangtuaku, mereka yang menang, tapi aku yang merasa damai, disayang, dan terlindung dalam suatu hubungan yang dekat.
Sulit untuk
menjelaskan anomali seperti ini, tapi itu kenyataannya.
Pada waktu itu
tentu saja aku tidak mengerti ini, aku masih terlalu muda. Aku selalu mengira,
yang menang, yang keinginannya dituruti, itu yang bahagia. Ternyata itulah
penipuan Setan.
WINNING IS NOT ALWAYS A
VICTORY
LOSING IS NOT ALWAYS A
DEFEAT
Ini agak sulit diterjemahkan, karena setiap bahasa memiliki gayanya sendiri.
Memenangi tidak selamanya suatu kemenangan
Mengalah tidak selamanya
suatu kekalahan.
Yang mudah, kita
lihat saja Setan.
Kapan saat hidupnya
lebih berbahagia?
ü Ketika dia masih Lucifer, sang anak fajar,
masih hidup menurut kehendak Tuhan,
ketika dia hidup untuk kemuliaan Tuhan, di Surga dengan segala kemuliaan dan
keindahan yang diberikan Tuhan kepadanya, tidak mengenal kematian, di antara
para malaikat, sebagai pemimpin biduan mereka, sebagai kerub tertinggi yang
menudungi takhta Allah;
ü atau sekarang setelah pemberontakannya,
setelah dia melawan Allah, akibatnya
dia dicampakkan dari Surga, kehilangan posisinya, kehilangan kasih Allah, dan
hari-harinya sudah terbatas, dia ditunggu penghukuman yang akan
membinasakannya?
Setan sekarang bisa tidak usah hidup untuk kemuliaan Allah, dia hidup untuk kemuliaannya sendiri. Tapi apakah dia bahagia? Pasti tidak. Mungkin karena dia tidak bahagia itulah dia menjadi semakin jahat, karena orang yang bahagia itu tidak akan punya niat jahat, dia sudah sibuk menikmati kebahagiaannya sendiri, tidak punya waktu untuk memikirkan yang jahat lagi.
Jadi kalau kita
melihat Setan, jelas bahwa hidup menurut Tuhan, hidup untuk
kemuliaan Tuhan itu lebih berbahagia daripada hidup menurut kehendaknya
sendiri, untuk kemuliaannya sendiri.
Dengan melawan
Tuhan, Setan merosot dari malaikat kerub yang statusnya tertinggi, yang kudus,
yang tidak bercela, menjadi makhluk yang paling berdosa, mengerikan, yang berbohong
dan membunuh, yang tidak tersisa sedikit pun kebaikan padanya. Karena apa?
Karena dia menolak hidup untuk kemuliaan Allah. Dia sangka bahwa hidup untuk
kemuliaannya sendiri lebih bahagia, tapi justru sebaliknya.
Karena itu ajaran Tuhan agar kita hidup untuk kemuliaanNya itu adalah demi
kebahagiaan kita sendiri. Sama sekali bukan karena Allah itu
diktator, lalim, mau menang sendiri. Justru karena Allah mau kita bahagia, maka
Dia berkata, “hiduplah untuk kemuliaanKu” karena kamu akan bahagia.
Pertanyaan:
Bagaimana caranya hidup untuk kemuliaan Allah?
Sebagai contoh kita
lihat dulu bagaimana kita hidup untuk kemuliaan orangtua kita?
Sewaktu aku kecil,
kalau ada tamu, atau aku diajak bertamu ke rumah orang, ayahku selalu berpesan
“Jangan bikin malu orangtua! Jangan sampai orang bilang, ‘Ini anak siapa kok
tidak tahu aturan!’” Itu pesan yang
tidak pernah dilupakan. Nah, “tidak bikin malu orangtua”
artinya tidak boleh nakal, menyapa dengan hormat terutama
orang-orang yang lebih tua, duduk manis dengan sopan, kedua kaki tidak boleh
naik ke atas kursi, tangan tidak boleh pegang-pegang barang orang, mulut tidak boleh menciptakan
bunyi-bunyi yang mengganggu, kalau disodori makanan dan minuman diterima dengan
cara yang halus disertai ucapan terima kasih, tidak boleh bikin kotor, menjawab
dengan sopan kalau ditanya, kalau tidak ditanya tidak boleh bicara, tidak boleh
mengganggu orang dewasa yang sedang bicara, tidak boleh merengek minta pulang, tidak
boleh lari-lari di rumah orang, dan masih banyak lagi larangannya. Ancamannya
kalau sampai bikin malu orangtua, tidak akan diajak pergi lagi. Kalau didaftar
sepertinya banyak sekali larangannya, tapi sebenarnya intinya hanya satu: patuh
pada orangtua. Jadi “tidak bikin malu orangtua” sama
dengan menuruti segala perintah orangtua.
Dan kalau aku
“tidak bikin malu orangtua” itu sama dengan aku “memuliakan orangtua.”
Orangtuaku senang, dan aku senang, karena aku tidak kena marah setiba di rumah.
Jadi sama-sama senang. Malah sering pulangnya
dibeliin eskrim atau apa.
Ternyata itu tidak beda banyak dengan memuliakan Bapa kita di Surga.
Kita memuliakan
Tuhan, jika kita tidak nakal, tidak melawan kehendakNya, kita hidup menuruti
peraturan-peraturanNya, Perintah-perintahNya, dan HukumNya. Kalau kita hidup
sesuai dengan kehendakNya, kita tidak bikin malu Tuhan, kita memuliakan Tuhan. Tuhan
senang, kita juga senang karena Tuhan senang, dan kita tidak bikin dosa.
Tuhan Yesus
berkata,
Yohanes
14:15
Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala Perintah-Ku.
Jadi
v dasar dari menurut segala Perintah Tuhan itu adalah kasih, karena kita mengasihi Tuhan.
v Kalau kita mengasihi Tuhan, kita akan senang menurut segala PerintahNya.
Jadi menuruti segala Perintah Tuhan adalah bukti bahwa kita mengasihi Tuhan.
v Kalau kita mengasihi Tuhan, kita membuat Tuhan senang.
v Kalau kita membuat Tuhan senang itu sama dengan kita memuliakan Dia.
Jadi memuliakan Tuhan itu membuat Tuhan senang.
v Dan kalau kita bisa menyenangkan hati Tuhan, pasti kita sendiri juga senang.
Kita akan punya hubungan yang dekat dengan Tuhan, tidak ada jurang yang memisahkan, tidak ada keretakan, semuanya baik-baik.
Berarti Tuhan menyuruh kita memuliakan Dia itu semata-mata
karena Tuhan mau kita senang, Tuhan mau kita merasa bahagia.
Yeremia
29:11
Sebab Aku mengetahui rancangan-rancangan
yang Aku rancang untukmu, firman TUHAN,
yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan
kejahatan, untuk memberikan kepadamu akhir yang engkau harapkan.
For I know the thoughts that I think toward you, saith the LORD, thoughts of peace, and not of evil, to give you an expected end. (KJV)
Tuhan hanya punya
rancangan yang baik bagi kita. Tuhan itu kasih. Dia tahu kalau kita patuh
padaNya, hidup kita akan bahagia.
Jadi kalau Tuhan menciptakan kita untuk kemuliaanNya, dan Tuhan menghendaki
kita hidup dan melakukan segala sesuatu demi kemuliaanNya, itu semuanya adalah
supaya kita bahagia, supaya kita tidak berakhir seperti Setan.
Percayalah, jika
kita mengasihi seseorang, maka kalau kita bisa membuatnya senang, kita pasti
ikut bahagia. Itu sudah rumusnya.
Maka, Tuhan
mengasihi kita, karena itu jika Dia membuat kita senang, Tuhan juga senang.
Sebaliknya kita
juga, kalau kita mengaku mengasihi Tuhan, maka kita pasti akan merasa senang
bila kita bisa membuat Tuhan senang.
Dasar semuanya
ialah kasih.
Tuhan menciptakan kita
untuk kemuliaanNya karena kasih.
Kita hidup menurut kehendak
Tuhan untuk kemuliaanNya juga karena kasih.
Dalam kasih tidak
ada rasa takut.
Dalam kasih tidak
ada hitungan untung-rugi.
Dalam kasih hanya
ada melayani.
Tuhan mengasihi
kita karena itu Tuhan melayani kita ~ hebat lho Tuhan
kita yang melayani!
Kita mengasihi
Tuhan, maka kita juga harus melayani Tuhan.
23 10 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar